Dissenting, Prof Enny Nurbaningsih: Ketidaknetralan Pejabat, Berkelindan Pemberian Bansos
Melek Pemilu 2024

Dissenting, Prof Enny Nurbaningsih: Ketidaknetralan Pejabat, Berkelindan Pemberian Bansos

Seharusnya MK memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Hakim Konstitusi Prof Enny Nurbaningsih. Foto: HFW
Hakim Konstitusi Prof Enny Nurbaningsih. Foto: HFW

Proses persidangan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) Tahun 2024 telah berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara bernomor No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024. Putusan itu intinya menolak seluruh permohonan yang dimohonkan masing-masing oleh Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD.

Dalil yang ditolak hakim konstitusi antara lain tentang mobilisasi pejabat atau aparat negara dan politisasi bantuan sosial (Bansos) untuk pemenangan salah satu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres). Tapi 3 hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara itu menyatakan dalil tersebut beralasan menurut hukum.

Salah satunya Prof Enny Nurbaningsih. Dia menyatakan memiliki pendapat berbeda dengan mayoritas hakim terkait dalil pemohon tentang keterlibatan atau mobilisasi pejabat atau aparat negara termasuk politisasi bansos. Menurutnya beberapa daerah yang didalilkan ada ketidaknetralan penjabat (Pj) Kepala daerah, termasuk pejabat dan aparat pemerintah di empat daerah. Yakni Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

“Diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas, maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut di atas,” katanya membacakan dissenting opinion putusan perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024 di Gedung MK, Senin (22/4/2024).

Baca juga:

Dia berpendapat, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materil. Jujur dan adil (Jurdil) yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong. Kemudian tidak memanipulasi atau memanfaatkan celah hukum/kelemahan aturan hukum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam berkontestasi. Artinya, jurdil dalam pemilu yang diinginkan konstitusi mencapai sesuatu yang bersifat hakiki dari arti kejujuran dan keadilan itu sendiri.

Penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu beserta jajarannya, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur agar kontestasi pemilu benar-benar memberikan ruang jaminan berdasarkan konstitusi. Dengan begitu, rakyat (pemilih) secara bebas dapat menentukan wakil-wakilnya tanpa dipengaruhi oleh kondisi apapun dan oleh siapapun.

Tags:

Berita Terkait