Dissenting, Prof Saldi Isra Ungkap Sebab Pemilu Tidak Berjalan Jurdil
Melek Pemilu 2024

Dissenting, Prof Saldi Isra Ungkap Sebab Pemilu Tidak Berjalan Jurdil

Terjadi ketidaknetralan sebagian penjabat kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Hakim konstitusi Prof Saldi Isra saat sidang sengketa pilpres di ruang sidang pleno MK. Foto: HFW
Hakim konstitusi Prof Saldi Isra saat sidang sengketa pilpres di ruang sidang pleno MK. Foto: HFW

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya dalil permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) yang dimohonkan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD. Tapi putusan itu tak bulat karena 3 hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), salah satunya Prof Saldi Isra.

Berbeda dengan pandangan hakim konstitusi mayoritas yang menolak dalil pemohon tentang bantuan sosial dan mobilisasi aparatur negara yang digunakan untuk pemenangan salah satu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) justru berpendapat dalil tersebut beralasan menurut hukum. Sehingga, memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah. Yakni Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat/aparatur negara/penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum,” kata Prof Saldi membacakan pendapat berbeda dalam putusan perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024, Senin (22/4/2024) kemarin.

Dia menguraikan pendapat berbedanya dengan menegaskan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengatur asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan berkala setiap lima tahun sekali sebagai asas pemilu. Norma tersebut merupakan asas atau prinsip dasar kontestasi pemilu yang mesti dilaksanakan agar sistem demokrasi yang dicita-citakan UUD 1945 dapat dicapai. Pada saat yang sama, menjadi benteng atau perisai agar demokrasi tidak dibelokkan ke arah sistem politik yang secara esensial, bukan demokratis.

“Dari sejumlah asas pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945, yang paling esensial bagi kontestasi pemilu adalah asas jujur dan adil,” tegasnya.

Baca juga:

Asas jujur dan adil menurut Prof Saldi tidak berhenti pada batas keadilan prosedur semata. Jujur dan adil dalam norma konstitusi menghendaki keadilan substantif. Bilamana hanya sebatas keadilan prosedural, asas pemilu jujur dan adil dalam UUD 1945 tersebut tak akan pernah hadir. Sebab, pemilu di era Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada. Yaitu dilaksanakan dengan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu.

Tags:

Berita Terkait