Diusulkan Presidential Threshold Dihapus Lewat Amandemen Konstitusi
Terbaru

Diusulkan Presidential Threshold Dihapus Lewat Amandemen Konstitusi

Karena pengaturan Presidential Threshold lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya. Diharapkan adanya amandemen konstitusi ke-5, putra-putri terbaik yang nonpartisan bisa dipilih untuk dicalonkan sebagai presiden.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattaliti mengatakan aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold perlu dihapus. Dia beralasan aturan presidential threshold tidak begitu tepat dan lebih banyak merugikan daripada manfaatnya bagi masa depan politik bangsa.

"Sistem presidential threshold itu memiliki banyak mudharat daripada manfaatnya. Ini butuh amandemen (konstitusi, red) ke-5 untuk memperbaikinya," ujar La Nyalla Mattaliti saat mengisi kuliah umum di UIN Makassar, Sabtu (29/5/2021) seperti dikutip Antara. (Baca Juga: Empat Hal ‘Haram’ dalam Amandemen Konstitusi)

Dalam kuliah umum dengan tema "Amandemen Kelima: Sebagai Momentum Koreksi Perjalanan Bangsa", ia menjelaskan presidential threshold merupakan syarat dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik. "Kita perlu koreksi lagi terkait hal itu. DPD RI pun sudah mempersiapkan kajian untuk amandemen konstitusi ke-5 agar ada keadilan dan ada kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin nasional," ujarnya.

La Nyalla menjelaskan, UUD 1945 hasil amandemen 2002 telah memberi mandat partai politik sebagai satu-satunya saluran mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tata caranya diatur UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "Dalam UUD 1945 ditegaskan untuk mengusung pasangan capres-cawapres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Partai yang tidak menggenapi (mencapai, red) persentase itu harus berkoalisi,” jelasnya.

Argumentasi pengaturan presidential threshold disebut-sebut untuk memperkuat partai politik. Selain itu agar presiden dan wakil presiden terpilih punya kekuatan politik di parlemen. Dengan begitu, presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Tapi bila parlemen yang kuat dikhawatirkan akan melemahkan sistem presidensial.

"Sepertinya masuk akal. Tapi bila dicermati konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan peran. Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif di parlemen. Koalisi penguasa yang gemuk dan minim oposisi mengundang penyalahgunaan kekuasaan karena sulitnya check and balance," kata dia.

Dia menegaskan presidential threshold lebih banyak mudharat-nya. Misalnya, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon presiden, dalam prakteknya tidak seperti itu. "Dalam pemilu yang lalu-lalu hanya bisa memunculkan dua pasang calon. Dampaknya, pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Polarisasi ini tidak juga reda meski elit telah rekonsiliasi," terangnya.

Presidential threshold dinilai La Nyalla juga mengkerdilkan potensi bangsa. Banyak calon pemimpin kompeten yang tidak bisa dicalonkan karena ada aturan main seperti itu (hanya parpol atau gabungan parpol yang bisa mengusulkan pasangan capres-cawapres, red)). "Presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Banyak pemilih yang memilih golput karena calon mereka tidak mendapat tiket kontestasi.”

Selain itu, partai kecil cenderung tidak berdaya di hadapan partai besar. Mereka ikut saja tentang keputusan calon yang akan diusung bersama. "Inilah yang saya katakan, presidential threshold bukan saja menghalangi putra-putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih, tetapi juga menghalangi kader partai politik, hanya karena partainya tidak memiliki suara yang mencukupi untuk mengusung kader terbaiknya," ujarnya.

Karena itu, LaNyalla berharap dengan adanya amandemen konstitusi ke-5, putra-putri terbaik yang nonpartisan bisa dipilih untuk dicalonkan sebagai presiden. "Perlu dicermati ada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 kemarin, bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai. Sisanya hanya 28,51 persen yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Lantas bagaimana harapan 71,49 persen responden tersebut tersalurkan?”

Ia melanjutkan sebelum amandemen UUD 1945, MPR bisa mengusung dan memilih calon presiden, di mana anggota MPR terdiri dari anggota DPR yang merupakan representasi partai politik, utusan golongan, dan utusan daerah. Tapi setelah amandemen, MPR terdiri dari DPR yang merupakan representasi partai politik dan DPD yang merupakan representasi daerah tak bisa mengusung calon presiden. 

"Sejatinya DPD adalah jelmaan dari utusan daerah. Jika dulu utusan daerah terlibat dalam mengusulkan dan memilih presiden, mengapa setelah amandemen 2002, DPD tidak dapat mengusulkan calon presiden?”

Menurut mantan Ketum PSSI ini, seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. "Di sinilah perlunya kita berpikir jernih dan melakukan perenungan sekaligus refleksi atas perjalanan bangsa ini. Sekali lagi, mari kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Apakah perjalanan bangsa Indonesia hari ini semakin menuju cita-cita para pendiri bangsa, atau semakin menjauh?”

Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memaparkan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diperlukan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Hanya akan ada penambah ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD NRI 1945 dalam amandemen terbatas UUD NRI 1945. (Baca Juga: Bamsoet: Hadirkab PPHN, Amandemen Terbatas UUD NRI 1945 Hanya di Pasal 3 dan 23 UUD Nri 1945)

"Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden pasca-2024 apabila tidak sesuai PPHN. Selain itu tidak ada penambahan lainnya dalam amandemen kelima UUD NRI 1945. Termasuk, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial. Justru kita perkuat, dari visi-misi presiden menjadi visi-misi negara melalui PPHN," ujar Bamsoet dalam Diskusi Akademik 'Urgensi Amandemen Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk Kesinambungan Pembangunan', di Universitas Ngurah Rai, Bali, Senin (10/5/2021) lalu. 

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Bayu Dwi Anggono menilai amandemen konstitusi merupakan hal wajar untuk dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara Pancasila. “Ide amandemen itu boleh-boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara kita. Jadi sesuatu yang alami saja, tinggal bagaimana dan materi amandemennya,” ujar Bayu kepada Hukumonline beberapa waktu lalu.

Dia menegaskan amandemen konstitusi bukanlah sesuatu yang “haram” untuk dilakukan sepanjang demi kebutuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dia mengingatkan amandemen konstitusi agar dilakukan secara hati-hati. Dia menyarankan agar substansi amandemen konstitusi tidak masuk 4 wilayah ini. Pertama, tidak bertentangan dengan penguatan sistem presidensial. Kedua, tidak mengubah bentuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketiga, tidak mengubah bunyi Pembukaan UUD 1945. Keempat, tidak perlu ditambah lagi Penjelasan UUD 1945. Menurutnya, sepanjang substansi amandemen konstitusi tidak berkaitan dengan upaya melemahkan konsensus tersebut, maka layak untuk dipertimbangkan. (ANT)

Tags:

Berita Terkait