DPR: Tindak Pidana Asusila terhadap Anak Diupayakan Masuk RUU KUHP
Terbaru

DPR: Tindak Pidana Asusila terhadap Anak Diupayakan Masuk RUU KUHP

Pidana terhadap orang bersetubuh dan/atau berbuat cabul terhadap anak yang masih di bawah umur yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait tetap dapat digunakan oleh penegak hukum yang tentunya tergantung berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi dan terpenuhinya unsur-unsur pidananya.

Aida Mardatillah
Bacaan 6 Menit

Berdasarkan hal tersebut, Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP merupakan kriteria adanya persetubuhan carnal intercourse seorang wanita disebut sebagai delik susila yang heteroseksual sifatnya. Namun, tidaklah mudah menetapkan batas-batas aturan ruang lingkup delik kesusilaan. Sebab, pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup jelas dan berbeda-beda menurut pandangan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.

“Delik-delik di atas sebenarnya tidaklah mudah dapat menetapkan batas-batas atau ruang lingkup dari delik kesusilaan.” terang Dhahana.

Sementara Pasal 288 dan Pasal 293 KUHP merupakan delik yang mengatur pro parte dolus, pro parte culpa yaitu suatu delik mempunyai unsur kesebagian yang digunakan sebagai syarat dengan kesengajaan dan sebagian digunakan sarat dengan kealpaan dengan memakai unsur diketahui atau statusnya harus diduga. Jika salah satu dari bagian unsur tersebut sudah ada, cukup untuk dapat menjatuhkan pidana.

“Unsur pidana sebagaimana dimaksud Pasal 288 KUHP jika terjadi peristiwa perkawinan antara pria dan wanita ketika masih di bawah umur atau belum dewasa yang secara hukum belum waktunya untuk melakukan perkawinan, tetap dapat dilakukan dan dapat hidup bersama,” jelasnya.  

Dhahana menegaskan ketentuan ini yang menjadi unsur pidana adalah jika mereka melakukan hubungan badan, namun tidak berakibat adanya luka, luka berat, atau matinya perempuan tersebut, maka tidak dapat menjadi unsur pidana. Namun, jika hubungan badan mereka mengakibatkan luka berat atau mati si perempuan, maka dapat menjadi unsur pidana bagi laki-laki. 

Sedangkan yang dimaksud unsur pidana dalam Pasal 293 KUHP, suatu perbuatan yang dengan sengaja melakukan bujukan terhadap orang untuk melakukan perbuatan cabul pada orang lain, atau membiarkan dilakukannya cabul pada dirinya, dan perbuatan bujukan tersebut dengan menggunakan tipuan berbagai cara seperti dengan memberikan janji, hadiah, atau lainnya. Dengan bujukan atau tipuan tersebut, dapat mempengaruhi seseorang untuk membiarkan dirinya dilakukan perbuatan cabul, sedangkan orang yang dituju tersebut harus yang belum dewasa dan tidak cacat kelakuannya. Unsur pidana dalam ketentuan tersebut dapat disangkakan terhadap orang yang melakukan bujukan tersebut atau tipuan tersebut. 

Dhahana menambahkan berdasarkan unsur pidana yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut, penentuan pidana didasarkan atas kerugian korban dikarenakan kerugian tersebut tidak dapat diketahui secara umum dan hanya korban yang dapat menentukan kerugiannya, sehingga hanya korban yang dapat atau berhak menuntutnya. Ketentuan tersebut merupakan delik aduan dan diberikan batas pengaduan dalam waktu 7 sampai 12 bulan.

Seperti diketahui, para pemohon merupakan dua Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menguji Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) KUHP. Leonardo Siahaan dan Fransicus Arian Sinaga menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon I menilai ketentuan Pasal 293 ayat (2) dan Pasal 288 KUHP multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas. Hal ini meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran para pemohon yang memiliki adik kandung dan saudara perempuan, yang rentan menjadi korban percabulan di bawah umur dan sebagai korban kekerasan dalam perkawinan sehingga tidak ada implementasi kepastian perlindungan hukum.

Para pemohon merasa tidak adanya kejelasan Pasal 288 KUHP mengenai batasan umur yang dimaksud ketentuan a quo. Menurutnya, seharusnya Pasal 288 KUHP memberikan penjelasan yang jelas usia dari yang dimaksud “belum waktunya untuk dikawini”. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan perdebatan seperti apa “belum waktunya untuk dikawini” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP.

Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 293 KUHP dan 288 KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” dan “belum waktunya untuk dikawini” tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pemohon pun meminta kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).

Tags:

Berita Terkait