Hadiah Asal Uang Haram
Tajuk

Hadiah Asal Uang Haram

Peraturan mudah dibuat, tetapi ukuran efektivitasnya kerap tidak dilakukan dengan baik.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Di dalam negeri, tentu tidak mengherankan ketika Pemerintah, dalam rangka menggalakkan gerakan anti korupsi yang melibatkan peran serta masyarakat baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Msyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PP 43/2018). PP 43/2018 mengubah Peraturan Pemerintah sebelumnya mengenai hal yang sama, yaitu Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000. Peraturan ini mengatur mengenai penghargaan berupa piagam dan juga premi yang besarannya 2 permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara, tetapi tidak lebih dari Rp200 juta, dan dalam hal suap besarannya 2 permil dari uang suap dan/atau uang hasil lelang barang rampasan (suap dalam bentuk barang) tetapi tidak lebih dari Rp10 juta.

 

Peraturan ini patut dihargai dan mungkin saja akan banyak mengungkap tindak pidana korupsi termasuk suap, terutama yang jumlahnya tidak fantastis. Kesan utama yang muncul adalah bahwa peraturan ini masih malu-malu, jumlah hadiah yang kecil akan sulit menyentuh kasus-kasus korupsi besar. Bisa jadi karena ada anggapan bahwa adalah melanggar etika kalau uang negara harus dibayarkan sebagai hadiah kepada whistleblowers dan pengacaranya, karena merupakan kewajiban setiap warga negara untuk melaporkan kasus pidana apapun, termasuk korupsi.

 

Pertanyaannya, siapa yang mau mengambil risiko besar untuk melakukan pelaporan dan penyelidikan atas kasus korupsi termasuk suap, karena korupsi termasuk suap menyangkut banyak birokrat pejabat tinggi, anggota parlemen dan penegak hukum serta tokoh politik penting. Perlu diingat bahwa tuntutan qui tam di AS lebih banyak ditujukan kepada perusahaan swasta besar yang melakukan frauds. Risiko tentu ada, tetapi bisa sangat terukur karena sistem hukum yang lebih jelas dan tegas pelaksanaannya.

 

Di Indonesia, pelaporan dan penyelidikan kasus korupsi termasuk suap melibatkan orang-orang besar, sehingga risiko hukum, finansial dan sosial bahkan keamanan pribadi yang dihadapi juga akan lebih besar. Sehingga kita patut bertanya seberapa efektif peraturan ini bisa ikut mencegah dan memberantas korupsi. Yang akan terjadi, sebelum ini membudaya, peraturan ini hanya akan digunakan oleh lembaga swadaya masyarakat dan orang-orang yang luar biasa berani dan siap menerima risiko apapun. Dan itu tidak banyak. Akibatnya laporan-laporan korupsi dan suap yang besar dan sensitif hanya akan berhenti di meja penegak hukum karena kekurangan keterangan saksi dan bukti lainnya. Sementara, kasus-kasus korupsi kecil akan makin membanjiri dan penegak hukum lainnya sehingga akan sibuk tanpa sisa waktu dan sumber daya untuk menangani kasus-kasus korupsi besar.

 

Sekali lagi kita menyaksikan suatu gejala umum yang kerap terjadi di sini, yaitu bahwa peraturan mudah dibuat, tetapi ukuran efektivitasnya kerap tidak dilakukan dengan baik. Indonesia tidak hanya butuh peraturan anti korupsi yang kuat dan baik, tetapi kita lebih butuh bagaimana korupsi dicegah dan diberantas dengan jauh lebih efektif.

 

ats - Oktober 2018

Tags: