Independensi KPUD Menjadi Dasar Pengujian UU Pemda
Berita

Independensi KPUD Menjadi Dasar Pengujian UU Pemda

Pasal yang dijadikan sebagai acuan PP Pilkada bisa saja dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Hakim menyarankan agar pemohon memperbaiki permohonannya.

Mys
Bacaan 2 Menit
Independensi KPUD Menjadi Dasar Pengujian UU Pemda
Hukumonline

Mengawali tahun 2005, Mahkamah Konstitusi (MK) menangani dua permohonan pengujian atau judicial review Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Permohonan pertama diajukan para pengurus Cetro, ICW, Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu (Jamppi), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), serta Aliansi Masyarakat Sipil dan Demokrasi.  

Permohonan kedua datang dari 15 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Kedua permohonan tersebut disidangkan secara bersamaan pada Kamis lalu oleh hakim panel Maruarar Siahaan, HAS Natabaya dan I Gede Dewa Palguna. Kebetulan, para pemohon menunjuk kuasa hukum yang nyaris sama, Bambang Widjojanto dan kawan-kawan.

Namun dalam persidangan, hakim mencecar kuasa hukum pemohon terutama mengenai legal standing dan kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Dalam perkara yang diajukan Cetro Cs, misalnya, hakim konstitusi HAS Natabaya mempertanyakan legal standing Cetro karena bukan sebagai penyelenggara pemilu. Dalam permohonannya, pemohon menyebutkan bahwa mereka sudah memenuhi kategori perorangan warga negara dan badan hukum privat sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Bambang Widjojanto menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Pemilu (UU No. 12 tahun 2003) menyebutkan perlunya penyelenggaraan pemilu yang demokratis, luber dan jurdil. Untuk menjamin prinsip-prinsip pemilu itulah peran lembaga pengawas seperti Cetro, JPPR dan Jamppi.

Dalam konteks permohonan Cetro dkk, menurut Bambang, kliennya mempersoalkan independensi KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Itu sebabnya para pemohon mempersoalkan pasal 1 angka 21, pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Ketiga ketentuan ini dinilai bertentangan dengan pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Pasal 57 ayat (1) misalnya menyebutkan bahwa KPUD bertanggung jawab kepada DPRD dalam pelaksanaan pemilihan kepada daerah (pilkada). Sistem pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD ini, menurut para pemohon, justeru telah menabrak sifat kemandirian dan kenasionalan lembaga penyelenggara pemilu. KPUD hanyalah bagian dari KPU, sehingga pilkada pun tidak bisa dipisahkan dari KPU. Kewenangan untuk menyelenggarakan pilkada langsung seharusnya tetap berada di tangan KPU sebagai pengejawantahan penyelenggaraan pemilu satu atap, papar pemohon.

Pasal 22E ayat (5) UUD memang tegas menentukan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Memisahkan KPUD dari KPU, lantas menyerahinya tanggung jawab kepada DPRD sama saja menghilangkan independensi KPUD dimaksud. Sebab, DPRD yang didominasi parpol tertentu sangat mungkin mengintervensi penyelenggaraan pemilu. Misalnya dengan menolak pertanggungjawaban KPUD.

Tags: