Ini Alasan Belum Optimalnya Pencabutan Pasal Penyebaran Berita Hoaks
Terbaru

Ini Alasan Belum Optimalnya Pencabutan Pasal Penyebaran Berita Hoaks

Mestinya MK dalam putusan No.78/PUU-XXI/2023 mencabut substansi atas berita bohong tersebut, bukan pasal-pasalnya. Sebab masih mencatumkan ketentuan yang sama dalam KUHP baru.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Budi Prastowo (kiri bawah) dan Haris Azhar (kanan bawah) dalam acara Hukumonline Instagram Live bertajuk ’MK Batalkan 'Pasal Karet' KUHP Akhir dari Belenggu Kebebasan Berekspresi?’, Selasa (2/4/2024).
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Budi Prastowo (kiri bawah) dan Haris Azhar (kanan bawah) dalam acara Hukumonline Instagram Live bertajuk ’MK Batalkan 'Pasal Karet' KUHP Akhir dari Belenggu Kebebasan Berekspresi?’, Selasa (2/4/2024).

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan pasal larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran sebagaimana diatur Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana pada Kamis (21/3/2024) lalu. Pasalnya, kedua pasal tersebut rawan disalahgunakan untuk kriminalisasi  serta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias tidak berlaku lagi sebagai norma hukum.

Menanggapi putusan No. 78/PUU-XXI/2023 tersebut, Haris Azhar selaku salah seorang pemohon, menyambut positif karena diakomodirnya prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Pemeriksaan fakta dari suatu informasi menurut Haris sudah mudah dilakukan seiring perkembangan teknologi saat ini. Dengan kondisi tersebut, Haris menilai tidak perlu menerapkan sanksi pidana dalam tindakan tersebut.

”Putusan ini bagus terlebih dasar-dasar putusan itu mengakomodir prinsip-prinsip HAM yang bersifat universal,” ujarnya dalam acara Hukumonline Instagram Live bertajuk ’MK Batalkan 'Pasal Karet' KUHP Akhir dari Belenggu Kebebasan Berekspresi?’, Selasa (2/4/2024).

Baca juga:

Founder Lokataru Foundation itu menuturkan, latar belakang permohonan yang dimohonkan bersama sejumlah koleganya diajukan karena dari analisis berbagai kasus terdapat kriminalisasi pada kelompok-kelompok kritis dan akademisi. Saat diteliti dan dibedah menurut Haris terdapat pola kejahatan dari kelompok-kelompok tertentu.

”Hal ini terlihat dari akademisi yang muncul itu-itu terus, kantor yang menerima laporan juga identik, lalu pasalnya juga itu terus, pasal 14 dan 15 identik ini yang digunakan,” katanya.

Dalam kesempatan sama, akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Budi Prastowo menyampaikan untuk memahami putusan MK tersebut publik harus memahami tindak pidana berkaitan kebebasan berekspresi. Dia menjelaskan tindak pidana penyebaran berita bohong berbeda dengan pencemaran nama baik dan fitnah.

Tags:

Berita Terkait