Ini Pokok-pokok RPP Sektor Pertanian, Kelautan, dan Perikanan di UU Cipta Kerja
Utama

Ini Pokok-pokok RPP Sektor Pertanian, Kelautan, dan Perikanan di UU Cipta Kerja

Kewenangan daerah tidak dicabut.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Foto: RES

Pemerintah melakukan sosialisasi penyusunan draf RPP dan RPerpres Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Sosialisasi ini sekaligus dijadikan sebagai ajang serap aspirasi implementasi UU Cipta Kerja yang dilakukan diberbagai daerah dan disiarkan secara daring oleh pemerintah.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud mengungkapkan, Omnibus law UU Cipta Kerja melakukan reformasi regulasi dan transformasi ekonomi yang membantu Indonesia keluar dari middle income trap, khususnya dengan cara meningkatkan daya saing dan produktivitas tenaga kerja.

Negara yang terjebak middle income trap akan berdaya saing lemah karena apabila dibandingkan dengan low income countries, akan kalah bersaing dari sisi upah tenaga kerja mereka yang lebih murah, sedangkan dengan high income countries akan kalah bersaing dalam teknologi dan produktivitas.

Untuk meningkatkan daya saing negara ini, UU Cipta Kerja mengubah konsepsi perizinan berusaha dari berbasis izin (license based) ke berbasis risiko (risk based). Dengan demikian bagi pelaku usaha dengan Risiko Rendah cukup dengan pendaftaran Nomor Induk Berusaha (NIB), sedangkan pelaku usaha Risiko Menengah dengan Sertifikat Standar, dan usaha Risiko Tinggi dengan izin. (Baca: Hindari Konflik, Partisipasi Publik Dibutuhkan dalam Perencanaan Tata Ruang)

Muatan UU Cipta Kerja terdiri atas 15 Bab, 186 Pasal yang mengubah 78 UU terkait. Muatan dalam UU Cipta Kerja tercermin dalam bab-bab di UU, dimulai dengan Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, Ketenagakerjaan, Kemudahan dan Perlindungan UMKM dan Koperasi, Kemudahan Berusaha, Riset dan Inovasi, Pengadaan Lahan, Kawasan Ekonomi, Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional, Administrasi Pemerintahan, Pengawasan dan Pembinaan.

Adapun regulasi di sektor pertanian yang terintegrasi dengan UU Cipta Kerja, yaitu: (1) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan; (2) UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; (3) UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan; (4) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; (5) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura; dan (6) UU No. 18 Tahun 2009 jo. UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Sementara, regulasi di sektor kelautan dan perikanan yang terintegrasi dengan UU Cipta Kerja, yakni: (1) UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; (2) UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (3) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan; dan (4) UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

“Sebagaimana diketahui, saat ini sedang disiapkan 44 peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, yang terdiri dari 40 PP dan 4 Perpres, termasuk RPP terkait Sektor Pertanian serta Sektor Kelautan dan Perikanan,” katanya Rabu, (2/12).

Penyusunan peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang baik dan implementatif, ungkap Musdhalifah, tentu memerlukan koordinasi dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan seluruh stakeholder. “Semoga acara kali ini menghasilkan masukan konstruktif dalam penyusunan peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja pada sektor pertanian serta sektor kelautan dan perikanan,” katanya.

Kabiro Hukum Kementerian Pertanian (Kementan), Edi Purnomo, menjelaskan bahwa Kemenpan dalam UU Cipta Kerja secara garis besar terdapat dua jenis perizinan yang akan diatur dalam RPP sektor pertanian yakni perizinan usaha dan perizinan penunjang.

Perizinan usaha adalah perizinan yang berlaku sepanjang usaha tersebut masih berjalan dan tidak dicabut dengan suatu alasan, sementara perizinan penunjang adalah perizinan yang memiliki masa berlaku tertentu.

Untuk sektor pertanian, misalnya sektor perkebunan yang memiliki 4 izin usaha dan 6 izin penunjang, tanaman pangan memiliki 6 izin usaha dan 8 izin penunjang, sektor holtikultura dengan 2 izin usaha dan 3 izin penunjang, ketahanan pangan dengan 5 izin penunjang, peternakan dan kesehatan hewan dengan 6 izin usaha dan 34 izin  penunjang, sarana dan prasarana ada 3 izin penunjang, dan sektor penelitian dan pengembangan yang untuk sementara ini memiliki 2 izin penunjang.

Adapun penyederhanaan dan kemudahan di sektor pertanian yang telah diakomodir dalam UU Cipta Kerja dan tertuang dalam RPP, antara lain: (1) Kemudahan perizinan berusaha pada budidaya pertanian skala tertentu; (2) Penyederhanaan dalam pertimbangan penetapan batasan luas lahan untuk usaha perkebunan; (3) Penyederhanaan administrasi untuk Permohonan Hak Perlindungan Varietas Tanaman;

(4) Pengaturan pola Kemitraan Hortikultura untuk kemudahan berusaha; (5) Penetapan Kawasan Lahan Pengembalaan Umum dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat; (6) Simplifikasi izin ekspor-impor benih/bibit/tanaman/hewan untuk kemudahan berusaha; dan (7) Kemudahan akses Sistem Informasi Pertanian oleh masyarakat dan pelaku usaha.

Adapun inti perubahan yang dilakukan di sektor pertanian dalam UU Cipta Kerja adalah jenis perizinan. Jika dulu seluruh izin usaha harus mendapatkan izin, dalam UU Cipta Kerjha perizinan didasarkan pada risiko.

Terkait hal tersebut, Edi mengakui jika pihaknya diminta untuk mengatur klasifikasi risiko usaha dari kelas rendah, menengah rendah, dan tinggi. Klasifikasi risiko ini nantinya akan didasarkaan pada kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan (K3L).

“Artinya izin diperlukan kalau usaha memiliki risiko tinggi. Jadi Kementan diminta membuat klasiikasi usaha, misal risikonya tinggi, rendah sedang. Dan ini menentukannya lewat K3L keamanan, keselamatan, keseharatan dan lingkungan. Terkait ini kami juga berdiskusi dengan Kemenkes terkait kesehatan, KLHK terkait lingkungan, dan juga erhadap stakeholder dan asosiasi yang kita atur dalam aturan tersebut,” jelasnya.

Untuk usaha dengan tingkat risiko rendah, lanjut Edi, pelaku usaha hanya membutuhkan NIB. Sementara untuk menengah rendah, membutuhkan NIB dan syarat standar, dan usaha dengan risiko tinggi harus memenuhi seluruh perizinan terkait K3L. Dalam hal ini, UMK dikategorikan sebagai usaha dengan risiko rendah.

Sementara terkait dengan pemerintah daerah, Edi menegaskan RPP terkait sektor pertanian tidak akan menghapus wewenang daerah. Sejauh ini, perizinan di sektor pertanian memang sudah dilakukan lewat OSS, hanya saja belum berbasis pada risiko.

Perizinan yang terkait kehutanan yang berada di daerah tetap berada di tangan pemerintah daerah. “Wewenang Pemda tidak dicabut. Di Kementan kami sudah melakukan perizinan sesuai dengan PP 24 2018 tentang OSS, dan kemudian kami di Kementan ada Permentan yang sudah inline. Cuma saat ini beluum mengatur perizinan berbasis risiko.  NSPK ditetapkan dalam RPP, tetapi tidak mencabut kewenangan daerah. Dalam RPP berbasis risiko lampiran bersifat positif list, ketika tidak ada dalam lampiran di NSPK, maka bukan merupakan izin,” paparnya.

Sedangkan, penyederhanaan dan kemudahan di sektor kelautan dan perikanan yang telah diakomodir dalam UU Cipta Kerja dan tertuang dalam RPP, antara lain: (1) Jenis perizinan untuk kapal penangkapan ikan yang semula 16 jenis disederhanakan menjadi hanya 3 jenis izin; (2) Proses perizinan sesuai ketentuan lama yang membutuhkan waktu sekitar 14 hari telah dipersingkat hingga dapat diselesaikan hanya dalam 60 menit; (3) Relaksasi penggunaan alat tangkap ikan pukat dan cantrang untuk wilayah perairan tertentu; (4) Penyederhanaan izin untuk tambak udang dari semula 24 jenis perizinan menjadi 1 perizinan.

Kemudian, (5) Proses Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP) dipersingkat waktunya dari semula 7 hari menjadi 2 hari dan dilakukan secara online; (6) Pengalihan kewenangan pembinaan pelaku usaha pemasaran/perdagangan komoditas perikanan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); (7) Proses sertifikasi Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang semula 56 hari dipersingkat menjadi 10 hari dan dilakukan secara online; (8) Pemberian kemudahan sertifikasi bagi pelaku usaha yang akan melakukan ekspor komoditas perikanan; dan (9) Penerbitan rekomendasi impor komoditas perikanan diintegrasikan dalam sistem Online Single Submission (OSS).

“Ini RPP khusus Perikanan tangkap. Terdapat empat perizinan yang diatur yakni pengelolaan sumber daya ikan, penangkapan ikan dan perngelolaan ikan di wilayah Indonesia yang bukan komesial, kapal perikanan, dan pelabuhan perikanan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait