Inilah Argumentasi UU Bantuan Hukum Layak Direvisi
Berita

Inilah Argumentasi UU Bantuan Hukum Layak Direvisi

Revisi UU Bantuan Hukum berhubungan dengan UU Advokat.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Webinar revisi UU Bantuan Hukum yang diselenggarakan Kanwil Hukum dan HAM D.I. Yogyakarta, Kamis (4/2/2021).
Webinar revisi UU Bantuan Hukum yang diselenggarakan Kanwil Hukum dan HAM D.I. Yogyakarta, Kamis (4/2/2021).

Hampir satu dekade berlaku berlaku, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dinilai sudah layak direvisi. Pelaksanaannya dianggap belum efektif karena sejumlah sebab. Problem implementasi bukan hanya dihadapi penerima bantuan hukum, tetapi juga Pemda ketika ingin menyusun regulasi daerah mengenai bantuan hukum.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (4/2), berkembang diskursus tentang urgensi dan substansi perubahan UU Bantuan Hukum. “Perlu ada perubahan beberapa pasal,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami, ketika membuka acara.

Peneliti Balitbang Kementerian Hukum dan HAM, Eko Noer Kristiyanto memaparkan refleksi sepuluh tahun berlakunya UU Bantuan Hukum, terkait dengan korelasi dengan peraturan perundang-undangan lain, dan peranan pemerintah daerah. UU Bantuan Hukum berkorelasi kuat dengan perundang-undangan lain semisal KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) dan terutama UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pasal 56 ayat (1) KUHAP menyebutkan pejabat pada semua tingkatan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi seorang tersangka atau terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum. Di sini, yang berhak mendapat bantuan hukum bukan hanya orang tidak mampu atau orang miskin (istilah yang dipakai UU Bantuan Hukum). Korban perkosaan dan kelompok rentan, misalnya, layak mendapatkan bantuan hukum karena posisinya yang lemah.

Korelasi paling kuat UU Bantuan Hukum adalah dengan UU Advokat. Organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) wajib memiliki advokat agar lulus verifikasi dan akreditasi. Menteri Hukum dan HAM telah menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur tentang paralegal, yakni mereka yang bekerja memberikan bantuan hukum meskipun mereka bukan advokat. Pada Mei 2018 lalu, Mahkamah Agung mengabulkan keberatan sejumlah advokat terhadap Permen No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Mahkamah Agung menyatakan Pasal 11 dan 12 dalam Peraturan Menteri dimaksud bertentangan dengan UU Advokat.

Menurut Eko Noer Kristiyarto, revisi UU Bantuan Hukum penting untuk menyesuaikan dengan perundang-undangan lain, termasuk merespons putusan Mahkamah Agung mengenai paralegal. “Ada ketentuan tentang paralegal yang bertentangan dengan UU Advokat,” ujarnya.

(Baca juga: Perjalanan Berliku Paralegal di Indonesia).

Berkaitan dengan peran pemerintah daerah (Pemda), kata Eko Noer Kristiyanto, penting dicatat bahwa tanggung jawab pemberian bantuan hukum kepada warga miskin bukan hanya di pundak pemerintah pusat. Pemda juga ikut berperan memikul tanggung jawab itu karena faktanya orang miskin pun ada di daerah.

Tags:

Berita Terkait