Inkonsistensi Kedudukan dan Peranan MKDKI dalam Yurisprudensi
Kolom

Inkonsistensi Kedudukan dan Peranan MKDKI dalam Yurisprudensi

Terkait hal ini ada dua rekomendasi yang dapat dijalankan agar terciptanya kepastian hukum.

Bacaan 6 Menit

Dalam amar putusannya, Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN Bks dan menyatakan gugatan Terbanding semula Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG, kemudian dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1366 K/Pdt/2017. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa perkara tersebut bersumber pada Perbuatan Melawan Hukum dan berdasarkan malpraktik. Namun, dalam perkara itu belum ada hasil pemeriksaan dari MKDKI untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat II (Dokter), oleh karenanya gugatan dikategorikan prematur dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Sebaliknya, dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pengaduan kepada MKDKI tidak menghilangkan hak pasien untuk menuntut secara hukum, baik secara pidana maupun secara perdata, sehingga eksepsi dari Tergugat harus ditolak. Putusan ini memproses gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam sengketa medis antara Penggugat (ayah kandung dari almarhum pasien) melawan Tergugat (Rumah Sakit dan beberapa dokternya). Majelis Hakim menolak eksepsi dari Tergugat yang pada dasarnya menyatakan bahwa seharusnya gugatan yang diajukan oleh Penggugat menunggu terlebih dahulu keputusan dari MKDKI.

Dalam kasus ini, Tergugat mendalilkan bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat terlalu prematur dan memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijk Verklaard. Adapun alasan dari Tergugat mengajukan eksepsi tersebut adalah untuk mengkategorikan seorang dokter telah melakukan pelanggaran disiplin dan/atau adanya kesalahan mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP), harus berdasarkan pada Keputusan MKDKI. Dalam eksepsinya, Tergugat menegaskan bahwa tugas dari MKDKI adalah memberikan perlindungan kepada pasien, menjaga mutu praktik dokter, dan menjaga kehormatan profesi kedokteran. Sedangkan, tujuan dibentuknya MKDKI adalah menegakkan disiplin dokter/dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.

Dalam perspektif lain, Keputusan MKDKI dijadikan sebagai pertimbangan oleh Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan. Hal ini terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 484/Pdt.G/2013/ PN.JKT.Sel. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini mengabulkan gugatan Penggugat (seorang suami yang mewakili Almarhumah istrinya) dan menyatakan Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Surat Keputusan MKDKI atas Pengaduan Nomor 09/P/MKDKIV/2012 tentang Dugaan Pelanggaran Disiplin Kedokteran.

Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf f (yaitu, tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien) dan Pasal 3 ayat (2) huruf h (yaitu, melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

Dalam kasus ini, Dokter dikategorikan tidak melakukan persiapan operasi dengan baik dan tidak memberikan penjelasan tetang resiko tindakan sektio keempat kalinya. Konsil Kedokteran Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor 19/KKI/KEP/VI/2013 tentang Pelaksanaan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam Penegakan Disiplin mencabut Surat Tanda Registrasi Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) sementara selama 9 bulan. Putusan Majelis Hakim menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat I telah terbukti dengan mempertimbangkan pada Surat Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Nomor 10/P/MKDKI/V/2012 dan Surat Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 19/KKI/ KEP/VI/2013.

Dalam amar Putusan Nomor 484/Pdt.G/2013/ PN.JKT.Sel, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; Menyatakan Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum; Menyatakan Tergugat II (Rumah Sakit) dan Tergugat III (Badan Hukum pengelola Rumah Sakit) turut bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit); Menghukum Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit), Tergugat II (Rumah Sakit) dan Tergugat III (Badan Hukum pengelola Rumah Sakit) secara tanggung renteng untuk membayar kerugian immateriil yang diderita oleh Penggugat (seorang suami yang mewakili Almarhumah istrinya) sebesar Rp1 miliar.

Tags:

Berita Terkait