Insentif Pelaku UMKM dan Potensi Moral Hazard, Sebuah Dilema
Kolom

Insentif Pelaku UMKM dan Potensi Moral Hazard, Sebuah Dilema

Karpet merah dari pemerintah kepada pelaku UMKM perlu pengawasan yang ketat agar tidak menjadi kendaraan untuk praktik kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya.

Bacaan 6 Menit

Selain risiko yang sudah terjadi, potensi risiko lain adalah UMKM rawan dipakai sebagai ‘kendaraan’ atau special purpose vehicle (SPV) dalam pencucian uang. Mekanisme pendirian UMKM memang relatif cepat dan mudah, tetapi regulasinya belum antisipatif terhadap potensi-potensi praktik buruk/tidak beritikad baik memanfaatkan UMKM. Citra UMKM sebagai usaha yang tidak bonafide—seolah-olah tidak memiliki prospek bisnis yang menarik—membuat UMKM kurang mendapat perhatian. Mungkin juga lebih tepat dikatakan luput dari perhatian banyak pihak termasuk regulator dan Aparat Penegak Hukum (APH).

Kurang menariknya UMKM, sehingga kurang mendapat pengawasan serius, justru dimanfaatkan oknum untuk menjadikan UMKM sebagai ‘kendaraan’ sarana pelanggaran atau kejahatan. Apalagi telah dikemukakan di atas bahwa alur dan syarat pendirian entitas usaha yang memenuhi kategori sebagai pelaku UMKM begitu dimudahkan. Perlu diingat bahkan sampai ada inovasi hukum khusus yaitu badan usaha Perseroan Terbatas (PT) berupa Perseroan Perorangan (PT Perorangan). Ini adalah bentuk badan hukum yang bisa didirikan oleh hanya satu orang tanpa besaran modal minimal sejauh memenuhi kriteria UMKM.

PT Perorangan lahir setelah perluasan definisi ‘Perseroan Terbatas’. PT tidak lagi hanya dapat didirikan berdasarkan persekutuan modal yang terbagi dalam saham, tetapi juga bisa badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria UMKM. Pendiriannya sangat mudah, bisa dilakukan sendiri secara online tanpa perlu melibatkan Notaris! Tawaran kemudahan pendirian PT Perorangan inilah yang rawan menjadi sarana tindak pidana pencucian uang Seolah-olah uang hasil kejahatan tersebut adalah uang yang didapatkan berdasarkan usaha sebagai pelaku UMKM. Penting diperhatikan—apabila dilihat dari kacamata rezim anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme— bahwa Notaris adalah profesi yang ditugaskan mengawasi dan melaporkan indikasi suatu entitas usaha dibentuk sekadar menjadi sarana pencucian uang haram.

Reformulasi kriteria UMKM yang diubah pasca UU Nomor 6 Tahun 2023 juga berpotensi membuatnya dipakai sebagai sarana untuk menghindari pajak (tax avoidance). Merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, pelaku UMKM untuk kategori orang pribadi diberikan pembebasan berupa tidak dikenakan atau dibebaskan dari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) (dengan syarat peredaran bruto usahanya tidak melebihi Rp500 juta). Praktiknya, pembebasan pajak ini sangat mudah diakali dengan mengatur skema pembukuan usaha seolah pendapatan kotor dari usaha tidak melebihi nilai Rp500 juta. Seketika pelaku usaha tersebut sah terhindar dari kewajiban pajak terhadap negara.

Satu poin kemudahan lainnya bagi pelaku UMKM adalah dikecualikannya UMKM untuk memberikan upah di bawah upah standar yang ditetapkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini benar di satu sisi sebagai dukungan penting bagi pelaku UMKM yang beriktikad baik. Ada kemungkinan UMKM yang baru memulai usaha belum mampu memberikan upah atau gaji sesuai standar yang berlaku di provinsi tertentu. Namun, pengecualian besaran upah berpotensi disalahgunakan oleh pelaku UMKM yang tidak beriktikad baik—untuk memberikan upah minimal sesuai upah minimum atau melebihi standar upah minimum—dengan berlindung di balik status sebagai pelaku UMKM.

Merujuk PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dengan dua ketentuan: (1) paling sedikit 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat tingkat provinsi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS); (2) nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan provinsi. Secara karakteristik, pelaku UMKM yang pengelolaannya cenderung tradisional dapat diduga memproses rekrutmen pekerja secara lisan tanpa kontrak kerja tertulis apalagi ditandatangani. Itu artinya, posisi pekerja/buruh sangat rentan ditambah besaran upahnya juga di bawah standar upah yang diatur berdasarkan wilayah.

Hal-hal di atas kemudian menjadi dilematis. Di satu sisi mandat peraturan perundang-undangan sangat jelas bahwa pemerintah mesti mendukung penuh pengembangan dan pemberdayaan pelaku UMKM, tetapi di sisi lain kemudahan yang diberikan—fasilitas khusus yang hanya dapat dinikmati pelaku UMKM, serta insentif yang dialokasikan dari anggaran negara—berpotensi menimbulkan praktik buruk di tataran implementasi seperti telah diuraikan di atas. Kunci penting dari upaya memitigasi potensi moral hazard ini salah satunya melalui penguatan pengawasan. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur mengenai pengawasan program dan kegiatan yang melibatkan pelaku UMKM perlu diperiksa dan dievaluasi. Tentu saja itu harus dilakukan demi mencegah UMKM tidak disalahgunakan oleh oknum yang justru merugikan perekonomian negara Indonesia.

*)Nanda Narendra Putra, Analis Hukum Ahli Pertama BPHN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait