Jadi Lembaga Sui Generis, Kekayaan INA Dipisahkan dari Kekayaan Negara
Terbaru

Jadi Lembaga Sui Generis, Kekayaan INA Dipisahkan dari Kekayaan Negara

Dan hal terpenting adalah kerugian yang dialami INA dalam melaksanakan investasi merupakan keuntungan dan kerugian INA (Ps. 158 ayat 4 UU 11/2020), bukan kerugian negara.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Webinar “Implementasi Konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) Dan Tata Kelola Indonesia Investment Authority (INA) Dalam Menjamin Keberlangsungan Pembiayaan Pembangunan Di Indonesia”, Rabu (6/10).
Webinar “Implementasi Konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) Dan Tata Kelola Indonesia Investment Authority (INA) Dalam Menjamin Keberlangsungan Pembiayaan Pembangunan Di Indonesia”, Rabu (6/10).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengamanatkan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau yang disebut dengan Indonesia Investment Authority (INA).  Pembentukan INA diatur dalam Pasal 165 UU Ciptaker. Terdapat satu pasal yakni Pasal 165 dan dua ayat yang pada intinya menyebut bahwa LPI bertujuan untuk mendukung pembangunan secara berkelanjutan.

Pasal 165 berbunyi: “1. Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelola Investasi: 2. Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.”

Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rionald Silaban, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan terobosan untuk penyaluran dan optimalisasi Foreign Direct Investment (FDI) sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan infrastruktur di Indonesia. Pembentukan INA sebagai lembaga sui generis dianggap sebagai terobosan khusus untuk pembentukan mitra investasi yang andal dan terpercaya bagi investor internasional dan domestik untuk pembangunan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan Indonesia.

Rionald menegaskan INA tak bisa disamakan dengan lembaga lain seperti BUMN atau lembaga Pusat Investasi Pemerintah (PIP). INA merupakan lembaga komersial yang kuat dengan tata kelola terbaik dan bertugas untuk memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya. (Baca: Menimbang Urgensi Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi di UU Cipta Kerja)

Selain itu INA juga bertujuan untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; memperoleh keuntungan; menyelenggarakan kemanfaatan umum namun tidak terbatas pada penciptaan lapangan kerja.

Kemudian INA memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri dibanding lembaga lain. INA fokus dalam optimalisasi keuntungan, tata kelola solid karena mengikuti regulasi domestik, investor, dan praktik Bisnis Internasional, prioritas pada skema ko-investasi sehingga dapat melipatgandakan modal, dan mendapat dukungan yang kuat dari Negara i.e. PMN, bankruptcy protection, fasilitas perpajakan, dan sebagainya.

INA juga memiliki landasan hukum yang kuat untuk kepastian hukum, memiliki hak preferensi dalam transfer aset BUMN (nilai wajar), independensi kuat dan manajemen profesional, dan mendorong nilai tambah investasi berupa peningkatan kompetensi dari investor atau partner.

Sumber modal INA berasal dari penyertaan modal negara (PMN); dan/atau sumber lainnya sesua Pasal 158 ayat 1 UU 11/2020 dan Pasal 3 ayat 1 PP 74/2020. Modal INA juga berasal dari Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga dapat bersumber dari aset negara, aset BUMN, dan/atau sumber lain yang sah.

Aset INA juga dapat berasal dari PMN, hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset, pemindahtanganan aset negara atau aset BUMN, hibah, dan/atau sumber lain yang sah (Ps. 160 ayat 1 UU 11/2020). PMN dapat berasal dari (Ps. 3 ayat 2 PP 74/2020): Dana tunai; Barang milik negara; Piutang pada BUMN/PT; dan/atau Saham milik negara pada BUMN/PT.

Terkait perlakuan/pengelolaan modal, aset atau sumber investasi INA, Rionald menjelaskan bahwa aset negara dan aset BUMN yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada INA dipindahtangankan menjadi aset INA yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab INA (Ps. 157 ayat 1 UU 11/2020). Pengelolan aset INA sepenuhnya dilakukan oleh organ INA berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan (Ps. 160 ayat 4 UU 11/2020).

INA dapat mengonversi aset INA ke dalam bentuk lain dan dilakukan sesuai dengan nilai wajar, antara lain dari bentuk saham menjadi dana tunai, dari bentuk dana tunai menjadi surat utang, maupun bentuk lainnya (Pasal 62 PP Nomor 74 Tahun 2020). Dan hal terpenting adalah kerugian yang dialami INA dalam melaksanakan investasi merupakan keuntungan dan kerugian INA (Ps. 158 ayat 4 UU 11/2020), bukan kerugian negara.

“INA salah satu fokus tugasnya adalah memperoleh kentungan sehingga dipisahkan dari kekayaan negara. INA bisa beroperasi secara komersial, ini penting diperhatikan,” kata Rionald dalam sebuah webinar, Rabu (6/10).

Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara/Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, mengatakan bahwa karakter kelembagaan dan keuangan di Indonesia sejak 2011 telah mengalami perkembangan diferensiasi yang lebih dinamis, dengan mempolakan konsep kelembagaan dan keuangan yang tidak rigid dan lebih berorientasi pada kinerja keuangan.

Perkembangan ini secara teori hukum keuangan publik dipahami sebagai kebijakan strategis untuk mencapai tujuan bernegara, yang tidak dapat hanya mengandalkan kelembagaan yang bersifat klasik-konservatif dengan tata kelola yang rigid, tetapi tata kelola yang efektif, transparan dan akuntabel.

“Lembaga INA bersifat khusus, dan memang sudah mengarah ke sistem keuangan modern. Perlu diingat INA hanya bertanggung jawab ke presiden, jadi jangan ke mana-mana sehingga menyulitkan Sovereign Wealth Fund (SWF) mencapai manfaat yang lebih besar,” kata Dian pada acara yang sama.

Menurut Dian, konsep keuangan negara modern menganut sistem Location Dominated Finance System dimana negara harus memiliki kendali yang kuat di dalamnya dan keuangan yang bersifat khusus karena kompetensi khusus dan karakteristik tertentu sesuai dengan politik hukum negara. Konsep ini, lanjut Dian, berbanding terbalik dengan sistem keuangan yang selama ini dianut Indonesia yakni Closed Sector Finance System.

Closed Sector Finance System lebih mengedepankan faktor uang dengan risiko lemahnya pengendalian. Sementara di sistem Location Dominated Finance System negara memiliki kendali penuh dengan risiko korupsi dan TPP yang telah dimitigasi sejak awal.

“Konsepnya yang penting penting pengendalian negara, sehingga ada korupsi dan TPP sudah dimitigasi dari awal. Yang penting pengendalian kuat, bukan soal uang. Selama ini uang, uang, uang tapi pengendaliannya kurang. INA sudah diatur, akuntabel, demikian dengan efketifitasnya,” jelas Dian.

Dian menambahkan bahwa kelembagaan INA diperkenalkan sebagai sui generis, atau kelembagaan yang mempunyai karakter khusus, yang tidak dapat diperbandingkan sama dengan lembaga lainnya yang mengelola keuangan dan kekayaan negara pada umumnya. Konsep sui generis dalam INA menunjukkan kelembagaan dan keuangan INA merupakan jenis tersendiri, yang tidak dapat dikelompokkan pada kelembagaan lainnya, karena tujuannya yang khusus.

Dari sisi tata kelola, organ dalam INA diatur khusus, bertanggung jawab kepada Presiden untuk Dewan Pengawas. Dewan Pengawas menjadi representasi Pengendalian Publik (negara) dalam seluruh kekayaannya yang dipisahkan. Dari sisi regulasi, aturan atas kelembagaan, kekayaan, keuangan, kepegawaiaan, pemeriksaan diatur tersendiri sesuai dengan tujuan pendiriannya, dan pengaturan strategis diatur melalui cara tersendiri bersifat efektif, transparan, akuntabel.

Lalu dalam hal risiko, mitigasi risiko dan pemulihan kerugian dilakukan dengan mekanisme sendiri secara efektif, transparan dan akuntabel, dan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan diatur khusus dengan memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan.

Efektivikasi INA sebagai SWF dapat terwujud baik apabila pengelolaan dan pertanggungjawaban kelembagaan, kekayaan, dan keuangan dilakukan secara efektif, transparan, dan akuntabel. Dian menjelaskan, menurut teori hukum keuangan publik, efektivitas terwujud apabila memenuhi syarat: tidak adanya regulasi berlebihan (overregulated): berkurangnya prosedur dan sistem birokratisasi dan politisasi (debirocatism and depolitism); penguatan pengendalian internal yang profesional; minimalisasi pemeriksaan keuangan yang konservatif; mengurangi hambatan tafsir hukum yang berlebihan.

INA sebagai SWF mempunyai format hukum ideal apabila seluruh regulasi pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan negara pada umumnya, dan regulasi serta standar pemeriksaan keuangan negara pada umumnya, tidak berlaku untuk INA secara konsisten. Dengan demikian, lanjutnya, INA membangun suatu sistem tersendiri yang efektif, transparan, dan akuntabel, yang tetap dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah melalui Dewan Pengawas dan Presiden, sehingga konsepnya adalah more-benefit, less-regulation, best- governance.

Untuk mendukung INA sebagai SWF, norma, sistem, dan standar harus dilengkapi dan diperkuat menyangkut: protokol antar-wewenang bagi Presiden, Dewan Pengawas, dan Dewan Direktur; Prosedur pengelolaan dan pertanggungjawaban, rincian tugas, fungsi, wewenang sampai semua unit lengkap dan tuntas; dan subtansi pelaksanaan menyangkut alas hukum dan alas fakta ditata secara transparaan dan prosedur, INA mempunyai pedoman pengaturan tersendiri, yang dikompilasi dalam Integrasi Protokol Investasi.

“Di Singapura, itu mereka less regulation dimana tidak ada regulasi yangmenyulitkan untuk mencapai manfaat lebih besar. Tidak ada tafsir regulasi lain di luar norma, standar, dan sistem yang diatur sendiri, sehingga perdebatan norma sangat hampir tidak ada,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait