Kajian Yuridis Kepailitan AJMI
Kolom

Kajian Yuridis Kepailitan AJMI

"Satius est petere fonts quam sectari rivulos" (It is better to seek the source than to follow the streamlets)

Bacaan 2 Menit

3. Samuel Wattimena dipailitkan karena tidak dapat menyelesaikan pesanan pembuatan pakaian ala Indonesia Timur oleh pemesannya;

4. Seorang pemborong pembangunan rumah dipailitkan karena tidak dapat menyelesaikan pembangunan rumah tepat pada waktunya sesuai kesepakatan atau perkiraannya dengan pihak pemberi kerja;

Menurut hemat penulis, maksud pembuat Undang-Undang kepailitan tidaklah demikian, artinya pengertian utang yang disebut dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan tidaklah sama dengan "hutang" atau "schuld" yang dikenal dalam hukum perikatan. Terlebih dari itu, berdasarkan Doktrin Hukum dan Peraturan Perundang-undangan, pihak yang wanprestasi (Misalnya dalam contoh kasus di atas Kris Dayanti, I Nyoman Tirta, Samuel Wattimena dan pemborong pembangunan rumah), hanya dapat diajukan tuntutan perdata.

Tuntutan perdata itu berupa tuntutan pembatalan perikatan, pembatalan perikatan dan ganti rugi, pembayaran ganti rugi saja, tuntutan untuk melaksanakan perikatan, tuntutan untuk melaksanakan perikatan dengan ganti rugi, dan pernyataan batal saja. Jadi, perlu ditegaskan kembali bahwa terhadap orang-orang tersebut tidak tepat untuk diajukan gugatan kepailitan di pengadilan niaga, melainkan secara hukum mereka hanya dapat digugat secara perdata melalui pengadilan negeri.

Argumentasi tersebut di atas, selain memiliki dasar hukum, juga sejalan dengan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat yang juga dianut oleh para penyusun Undang-Undang Kepailitan. Sebab apakah mungkin atau apakah logis jika Kris Dayanti, I Wayan Tirta, Samuel Wattimena, dan pemborong dalam contoh di atas dipailitkan karena alasan-alasan sebagaimana dikemukakan tersebut. Jawabannya tentu tidak, mengapa? Karena hukum memiliki dimensi keadilan yang dapat dipahami dengan mudah oleh logika yang jernih dan obyektif.

Jika dianalogikan dengan masalah pembayaran dividen AJMI, seandainya benar (quod non) AJMI telah melakukan suatu perbuatan wanprestasi dengan tidak melakukan pembayaran dividen tahun 1999 yang seharusnya dilakukannya (quod non), maka tidak tepat jika kondisi tersebut diartikan bahwa AJMI mempunyai utang kepada DSS dengan konsep utang sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan. Karena apa yang dilakukan oleh AJMI tersebut (quod non) pada hakekatnya sama dengan apa yang dilakukan oleh Kris Dayanti, I Nyoman Tirta, Samuel Wattimena dan pemborong pembangunan rumah tersebut.

Adapun letak kesamaan AJMI dan keempat orang tersebut adalah sama-sama mempunyai "hutang" atau "schuld" dalam konsep hukum perikatan, bukan hukum kepailitan, di mana AJMI mempunyai "hutang" atau "schuld" (quod non) yang dapat dituntut oleh DSS di pengadilan perdata, bukan di pengadilan niaga agar AJMI menyerahkan sesuatu/iets te geven (dalam hal ini dividen tahun 1999) kepada DSS.

Halaman Selanjutnya:
Tags: