Kajian Yuridis Kepailitan AJMI
Kolom

Kajian Yuridis Kepailitan AJMI

"Satius est petere fonts quam sectari rivulos" (It is better to seek the source than to follow the streamlets)

Bacaan 2 Menit

Sama halnya dengan AJMI, keempat orang tersebut dapat dituntut di pengadilan perdata (bukan ke pengadilan niaga) oleh pemberi kerjanya (principal) untuk menyerahkan sesuatu (iets te geven) kepada pemberi kerja, melakukan sesuatu (te doen). Misalnya Kris Dayanti harus menyanyikan kesepuluh lagu tersebut secara utuh, I Wayan Tirta harus membuat patung ukiran baru, Samuel Wattimena harus melengkapi jumlah pesanan pakaian, dan pemborong tersebut harus menyelesaikan pembangunan rumah dalam tenggang waktu tertentu.

Dengan kata lain, setiap keberatan atau tuntutan DSS terhadap AJMI sehubungan dengan masalah pembayaran dividen tersebut seharusnya tidak diajukan melalui pengadilan niaga. Akan tetapi, tepat jika disampaikan melalui pengadilan perdata dengan tuntutan berupa pembatalan Akta Perjanjian Usaha Patungan dan ganti rugi atau tuntutan pembayaran ganti rugi saja atau tuntutan untuk melaksanakan Akta Perjanjian Usaha Patungan atau tuntutan untuk melaksanakan Akta Perjanjian Usaha Patungan dengan ganti rugi atau hanya berupa tuntutan pernyataan batal terhadap Akta Perjanjian Usaha Patungan dengan AJMI tersebut.

Selanjutnya, penulis akan mengemukakan sebuah pepatah Latin yang berbunyi: Non solum quid licet, sed quid est conveniens, est considerandum; quia nihil quod est inconvenienis est licitum (Not only what is lawful, but what is proper or convenient, is to be considered; because nothing that is inconvenient is lawful). Harapannya agar para hakim yang mengadili setiap perkara, khususnya perkara kepailitan, diingatkan bahwa dalam membuat pertimbangan hukum, seyogyanya tidak hanya didasarkan pada penafsiran hukum semata. Melainkan, juga mempertimbangkan hal-hal yang wajar atau pantas untuk dipertimbangkan seperti aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya karena sudah menjadi adagium bahwa tidak ada suatu hal yang tidak pantas (baca: tidak adil) yang sesuai dengan hukum.

Konkretnya, dalam memutuskan perkara kepailitan terhadap suatu perusahaan asuransi yang menghimpun dana masyarakat dan mempekerjakan ribuan orang (warga negara) Indonesia seperti AJMI,  sudah selayaknya jika majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang pantas untuk dipertimbangkan seperti nasib ribuan karyawan yang dipertaruhkan untuk menjadi pengangguran di tengah krisis ekonomi di negeri ini. Demikian pula dengan nasib bangsa ini yang hingga kini masih bergantung pada kemurahan hati negara/lembaga donor yang sangat berpengaruh dalam proses pemulihan dari krisis total yang melanda bangsa ini.

Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 secara jelas mengamanatkan hakim untuk membuat putusan berdasarkan hukum dan keadilan. Artinya, hakim diwajibkan juga untuk mempertimbangkan aspek keadilan dalam putusannya dan bukan semata-mata hanya berdasarkan pada aturan hukum belaka.

Itu sebabnya, mahasiswa Fakultas Hukum dibekali dengan bidang-bidang keilmuan terkait lainnya seperti agama, sosiologi hukum, antropologi hukum, ilmu alamiah dasar atau ilmu budaya dasar dengan maksud agar para mahasiswa yang akan menjadi praktisi hukum kelak mampu untuk melihat sisi keadilan dari sebuah perkara disamping aspek juridisnya.

Oleh karena itu, penulis tidak sependapat dengan aliran positivisme yang cenderung sepakat dengan suatu putusan yang semata-mata hanya dilandaskan pada peraturan hukum saja tanpa mempertimbangkan aspek keadilan dari perkara tersebut. Harap diingat pepatah di atas (Not only what is lawful, but what is proper or convenient, is to be considered; because nothing that is inconvenient is lawful).

Halaman Selanjutnya:
Tags: