Kalah Lagi, Mengais Harapan Lagi
Tajuk

Kalah Lagi, Mengais Harapan Lagi

​​​​​​​Dengan bergantinya tahun, tentu banyak orang masih punya harapan akan perbaikan.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Sebagian orang mempertanyakan relevansinya. Sebetulnya mudah saja. Korupsi di Indonesia sudah sangat masif, untuk ukuran tata kelola pemerintahan apapun, baik yang menggunakan sistem demokrasi liberal, sosialis dan bahkan komunis sebagai prinsip utama bernegaranya.

 

Indeks persepsi korupsi dan begitu banyak survei lain mengindikasikan dengan kuat hal tersebut. Kasus-kasus yang terjaring KPK juga menunjukkan gejala yang kuat seperti itu. Korupsi merata di semua lini, baik yang menyangkut eksekutif pemerintah pusat dan daerah, parlemen pusat dan daerah, lembaga-lembaga negara termasuk penegak hukum dan pelaku bisnis.

 

Korupsi jelas menggerogoti dana pembangunan. Korupsi jelas melanggar HAM rakyat kecil yang menjadi tidak bisa atau berkurang aksesnya kepada pendidikan, pelayanan kesehatan, permodalan, dan infrastruktur serta layanan umum negara yang baik. Korupsi jelas merusak demokrasi, karena pemimpin dipilih karena uang atau akses lancar ke kekuasaan. Pemimpin yang korup dan terpilih akan menghasilkan pemerintahan yang tata kelolanya buruk. Agggota parlemen yang korup akan menghasilkan legislasi yang buruk, dan tidak berpihak pada kepentingan orang banyak. Penegak hukum yang korup juga menghasilkan penegakan hukum dan preseden hukum yang buruk. Keadilan akan semakin jauh untuk digapai oleh orang-orang kebanyakan.        

  

Yang menyedihkan sebetulnya, ini terjadi di bawah kendali Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negara, yang sejatinya mampu dan berkuasa penuh menggerakkan seluruh sistem pemerintahan dalam mengendalikan dan bahkan menghancurkan praktik-praktik korupsi. Jokowi bisa secara aktif berperan dalam proses legislasi pada waktu RUU amandemen UU KPK diajukan oleh DPR. Jokowi bisa memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk mengawal proses tersebut. Jokowi tahu bahwa orang-orang yang diutusnya justru bisa membahayakan posisinya. Jokowi tahu betul harapan dari masyarakat sipil mengenai bagaimana dia harus bersikap dalam KPK Saga ini.

 

Harapan ini tidak dipenuhi, karena hitung-hitungan politik Jokowi, menurutnya, mungkin tidak menghasilkan posisi yang menguntungkan baginya. Pada saat yang sama, mungkin tidak disadarinya, Jokowi telah membuka jalan bagi runtuhnya fondasi dan bangunan negara yang mulai kokoh dengan proses reformasi sejak 1998 yang telah melahirkan KPK dengan gerakan antikorupsinya yang memberi harapan.

 

KPK, dengan segala kekurangannya bisa dikatakan telah menjelma menjadi lembaga yang menjadi model satu-satunya untuk harapan tegaknya hukum, dan karenanya juga demokrasi dan HAM. Kalau kita berhasil menularkan keberhasilan dalam melahirkan dan menjalankan KPK ke lembaga-lembaga lain (tata kelola, kebersihan, integritas dan kemampuan serta ketegasan bertindak) seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, lembaga-lembaga pengawas, parlemen, badan usaha milik negara, dan sebagainya, mungkin kita saat ini sudah akan menjadi negara maju dalam hal tata kelola pemerintahan dan dunia usaha.

 

Yang terjadi saat ini justru mengisyaratkan banyaknya gejala kemunduran. Seperti zaman Soeharto, pembangunan fisik dan penguatan posisi politik diutamakan. Militer dikembalikan ke lingkaran kekuasaan dan menjadi pemain penting dalam pengambilan kebijakan masalah hukum, sosial dan politik. Masyarakat sipil tidak lagi menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan besar.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait