Keberanian Mengambil Keputusan dalam Kondisi Genting
Tajuk

Keberanian Mengambil Keputusan dalam Kondisi Genting

Sebuah catatan mengenang Almarhum Kuntoro Mangkusubroto.

Oleh:
Arief T Surowidjojo
Bacaan 6 Menit
Almarhum Kuntoro Mangkusubroto. Ilustrasi: BAS
Almarhum Kuntoro Mangkusubroto. Ilustrasi: BAS

Suatu malam, tahun 2002, di rumah dinas Pangab RI kala itu, Jenderal Endriartono Sutarto, kami para pegiat Masyarakat Transparansi Indonesia (seingat saya selain Kuntoro Mangkusubroto, ada Erry Riyana Hardjapamekas, Kemal Stamboel, Sudirman Said, Ahmad Fikri Assegaf, saya, beberapa teman yang saya sudah lupa, dan sejumlah eksponen muda MTI) duduk melingkar, di atas lantai beralas karpet, sambil ngemil singkong goreng. Jenderal Tarto -sapaan Endriartono Sutarto- adalah jenderal reformis, yang mengambil keputusan strategis, tidak luput dari tentangan dan keraguan dari banyak petinggi tentara lainnya, bahwa dalam masa transisi kala itu, tentara harus masuk barak militer, tidak berhak mengeluarkan suara dalam pemilu, dan tidak boleh ikut dalam kegiatan politik atau melakukan intervensi politik apapun.

Pak Kun (Almarhum Kuntoro Mangkusubroto – KM) dengan nada agak tinggi mengatakan bahwa selama tentara memegang bedil, mereka harus tetap berada di barak militer, sampai tugas konstitusionalnya membela negara memanggil. Karenanya, tentara tidak boleh menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum (pemilu), juga tidak terlibat dalam kegiatan politik apapun termasuk yang terkait dengan pemilu. Pernyataan KM merupakan respons terhadap kemungkinan setelah masa transisi berakhir, kita akan kembali ke dalam suasana Orde Baru, di mana tentara bisa kembali terjun ke dunia politik dan menentukan hasil pemilu.

Sebagaimana diketahui, semasa Orde Baru, tentara sangat aktif dalam politik, dan selalu ikut campur dalam pemenangan rezim Suharto. Menarik tentara ke barak militer, tidak boleh memilih dalam pemilu dan tidak boleh terlibat dalam politik saya yakin merupakan jasa dan keputusan jenderal Tarto. Bahwa itu kemudian merupakan ketentuan hukum yang permanen dalam sistem hukum kita, saya yakin merupakan pemikiran banyak orang termasuk pimpinan tentara yang progresif dan teman-teman di organisasi masyarakat sipil, termasuk KM.

Keberanian dan logika lugas seperti itu merupakan ciri khas kepemimpinan KM. Mungkin juga diskusi tersebut terbantu dengan sikap Pak Tarto yang demokratik, yang juga sahabat KM, kang Erry dan Kemal sejak masa-masa muda mereka di Bandung. Tetapi melihat jejak langkahnya, saya yakin itu akan dilakukan juga oleh Pak KM di hadapan jenderal TNI manapun yang menjabat pimpinan puncak angkatan bersenjata.

Sebagian besar kita mengenal KM sebagai ahli ilmu keputusan (Decision Science). Pasti ini ada kaitannya dengan peran KM sebagai Guru Besar SBM ITB yang fokusnya tajam ada pada bagaimana kita secara saintifik merancang dan membuat keputusan. Bayangan banyak orang, Guru Besar tentu banyak berkiprah di tataran teoritis, berkutat di teori-teori yang dibangun dari hasil riset, diskursus, pembelajaran, dan pengajaran di dunia akademik. Ada juga Guru Besar yang menggabungkannya dengan pengalaman empiriknya baik, global maupun regional, karena kebetulan mungkin ia terlibat langsung terkait dengan posisinya di luar dunia akademik.

KM jauh berbeda dari gambaran Guru Besar seperti di atas. Faktanya, KM memang Guru Besar, salah satunya kami saksikan dalam pemberian orasi ilmiah di hadapan mahsiswa baru Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (Jentera) tahun 2017. KM yang juga merupakan salah satu anggota Badan Penyanturn Jentera mengatakan: “keputusan selalu harus dibuat dalam keadaan bagaimanapun juga. Apalagi dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa yang harus diselesaikan. Kita mesti memilih. Yang tidak boleh dalam hidup ini adalah menunda, karena menunda tidak pernah memecahkan persoalan. Memilih dalam dalam suasana ketidakpastian atas alternatif pilihan yang ada adalah keharusan, karena satu-satunya kepastian adalah apa yang sudah terjadi. Cilakanya yang namanya kepastian adalah kemarin.”

KM kemudian menjelaskan masa-masa di mana bangsa ini menghadapi krisis, dan bagaimana keputusan-keputusan dibuat dalam menangani krisis, dengan mengambil beberapa contoh pengambilan keputusan dalam penanganan krisis di Aceh dan Nias pada waktu tsunami dan gempa memporak-perandakan Aceh dan Nias tahun 2004 silam.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait