Kebijakan Insentif Pajak Harus Tepat Sasaran
Berita

Kebijakan Insentif Pajak Harus Tepat Sasaran

Pemerintah dalam memberikan insentif tetap harus ada skala prioritas yang mengedepankan prinsip keadilan baik vertikal maupun horisontal, serta sesuai prinsip kecocokan/kelayakan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Anggota Komisi XI DPR RI Junaidi Auly menginginkan kebijakan insentif pajak yang diputuskan pemerintah pada masa pandemi Covid-19 ini betul-betul dipastikan tepat sasaran dan tidak mengulang kesalahan pada masa lalu.

"Yang harus ditekankan di sini adalah bahwa insentif yang diberikan Pemerintah harus benar-benar tepat sasaran," kata Junaidi dalam keterangan pers yang diterima Hukumonline, di Jakarta, Selasa (23/2).

Menurut dia, jangan sampai terjadi lagi fenomena seperti obral tarif tebusan dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Negara, lanjutnya, kehilangan potensi pemasukan yang sangat besar sekaligus dinilai mencederai rasa keadilan bagi mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak saat itu.

Ia menegaskan dalam memberikan insentif tetap harus ada skala prioritas yang mengedepankan prinsip keadilan baik vertikal maupun horisontal, serta sesuai prinsip kecocokan/kelayakan. "Dari sini seharusnya kebijakan insentif pajak bisa diarahkan mana yang lebih penting harus didahulukan dan kepada siapa insentif pajak diberikan," ucapnya. (Baca: Yuk, Simak Tata Cara Lapor SPT Tahunan)

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memaparkan regulasi terbaru mengenai masa perpanjangan insentif pajak bagi wajib pajak untuk menghadapi dampak pandemi COVID-19 hingga 30 Juni 2021.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (3/2), memaparkan regulasi ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2021 yang berlaku mulai 1 Februari 2021.

"Insentif ini dapat diberikan apabila kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) wajib pajak pada SPT tahunan PPh tahun pajak 2019 atau pembetulan SPT tahunan PPh tahun pajak 2019 telah sesuai dengan KLU pada ketentuan peraturan ini," katanya.

Hestu mengatakan insentif yang diberikan sama dengan insentif ditanggung pemerintah sebelumnya dengan adanya penajaman yaitu untuk PPh Pasal 21, pajak UMKM, PPh Final Jasa Konstruksi, PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25, dan PPN.

Untuk PPh Pasal 21, insentif diberikan kepada karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.189 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), atau perusahaan di kawasan berikat.

Insentif dalam bentuk pajak yang tidak dipotong ini diberikan kepada karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta.

Terkait pajak UMKM, pelaku UMKM mendapat insentif PPh final tarif 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PPh Final PP 23) yang ditanggung pemerintah sehingga tidak perlu melakukan setoran pajak.

"Selain itu, pihak-pihak yang bertransaksi dengan UMKM juga tidak perlu melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM," kata Hestu.

Program PEN

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp699,43 triliun pada 2021 atau meningkat dari alokasi sebelumnya yang sebesar Rp688,33 triliun.

Sri Mulyani menuturkan anggaran sebesar Rp699,43 triliun tersebut naik 21 persen dari realisasi PEN tahun lalu yang mencapai Rp579,78 triliun dan diharapkan dapat menjadi daya dorong efektif untuk pemulihan terutama pada kuartal I-2021.

“Anggaran PEN yang naik 21 persen kita harapkan akan menjadi daya dorong yang efektif untuk pemulihan terutama terutama Januari sampai Februari dan diharapkan terus continue sampai Maret,” katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA secara daring di Jakarta, Selasa (23/2).

Ia merinci anggaran PEN 2021 yang mencapai Rp699,43 triliun tersebut fokus untuk lima bidang yakni kesehatan, perlindungan sosial, program prioritas, insentif usaha, serta dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi.

Bidang pertama yaitu kesehatan memiliki alokasi anggaran Rp176,3 triliun meliputi program vaksinasi Rp58,18 triliun, diagnostik (testing dan tracing) Rp9,91 triliun, therapeautic Rp61,94 triliun, insentif pajak kesehatan Rp18,61 triliun dan penanganan lainnya Rp27,67 triliun.

Bidang kedua adalah perlindungan sosial Rp157,41 triliun meliputi PKH bagi 10 juta KPM Rp28,71 triliun, kartu sembako Rp45,12 triliun, Pra Kerja Rp20 triliun, BLT Dana Desa Rp14,4 triliun, bansos tunai bagi 10 juta KPM Rp12 triliun, perlinsos lainnya Rp37,18 triliun.

Bidang ketiga adalah program prioritas sebesar Rp125,06 triliun meliputi padat karya K/L Rp27,33 triliun, ketahanan pangan Rp47,1 triliun, kawasan industri Rp11,33 triliun, pinjaman daerah Rp10 triliun, ICT Rp16,65 triliun, pariwisata Rp8,66 triliun, prioritas lainnya Rp4,11 triliun.

Bidang keempat adalah dukungan UMKM dan korporasi Rp186,81 triliun dengan fokus pada subsidi bunga UMKM Rp31,95 triliun, BPUM Rp17,34 triliun, subsidi IJP Rp8,51 triliun, PMN BUMN, LPEI, dan LPI Rp58,76 triliun, penempatan dana Rp66,99 triliun, serta dukungan lainnya Rp3,27 triliun.

Bidang kelima adalah insentif usaha Rp53,86 triliun meliputi PPh 21 DTP Rp5,78 triliun, pembebasan PPh 22 Impor Rp13,08 triliun, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 Rp19,71 triliun, PPnBM DTP kendaraan bermotor Rp2,98 triliun, dan insentif lainnya Rp12,3 triliun.

“PEN melonjak mendekati 21 persen anggarannya karena ini adalah motor paling penting di dalam perekonomian kita saat ini,” tegasnya.

 

Tags:

Berita Terkait