Kepastian dan Langkah Hukum Terhadap Tindakan Malapraktik
Terbaru

Kepastian dan Langkah Hukum Terhadap Tindakan Malapraktik

Ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi timbulnya malapraktik.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar yang wajib dipenuhi negara kepada setiap warga negara. Hak dasar ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 H yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Namun, dalam praktiknya banyak terjadi penyelewengan dalam pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh oknum tenaga medis yang tidak bertanggungjawab. Penyelewengan ini kerap disebut malapraktik, yang merupakan kegagalan dilakukan oleh profesi yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan serta keterampilan untuk dapat memberikan pelayanan yang menimbulkan dampak secara fisik dan materil.

Praktisi hukum kesehatan sekaligus praktik kedokteran, Najib Khan, mengungkapkan faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi timbulnya malapraktik. Faktor internal tersebut berasal dari kurangnya pengetahuan, kecakapan, keterampilan ilmu praktik kedokteran dan kondisi internal tenaga kesehatan itu sendiri yaitu dokter gigi, perawat dan bidan. Sedangkan faktor eksternal dari adanya malapraktik adalah regulasi yang berubah dan rumit serta SOP pedoman kerja tenaga kesehatan yang tidak terstandar dengan baik.

“Masyarakat kini semakin kritis, cerdas dan mampu menilai atau membedakan mana tindakan sarana pelayanan kesehatan dan mana tindakan dokter yang salah atau lalai yang melanggar SOP dan tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien,” ujar Najib dalam tulisannya di Kolom Hukumonline beberapa waktu lalu. (Baca: Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?)

Ia melanjutkan problem praktik medis juga terletak pada layanan kesehatan dan layanan tindakan medis yang tidak maksimal. Pedoman baku standar profesi dan SOP masih multitafsir terutama terkait pedoman pemberian informasi tindakan medis dan diagnosis.

Setidaknya, ada 7 kasus malapraktik yang menggemparkan di Indonesia di antaranya yaitu infeksi pasca operasi caesar, kesalahan penanganan dalam persalinan, kebutaan pasca operasi usus buntu, salah obat, buta setelah lahir, hampir hilangnya organ vital akibat sunat laser serta balita meninggal usai disuntik.

Dalam aspek pidana, malapraktik oleh tenaga kesehatan akan dikenakan Pasal 359 KUHP yang berbunyi karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain. Namun, jika terdapat aturan hukum lebih khusus, akan diberlakukan asas lex specialis derogate legi generali, yaitu hukum yang khusus mengenyampingkan hukum yang umum sehingga Pasal 84 ayat (2) UU No.36 Tahun 2044 tentang Tenaga Kesehatan mengenyampingkan Pasal 359 KUHP. UU No.36 tahun 2014 tersebut merupakan undang-undang non pidana yang memuat sanksi pidana.

Sedangkan dalam aspek perdata, Pasal 1365 KUHPerdata dengan ganti rugi yang selanjutnya diatur dalam UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan terkait dengan ganti rugi karena telah dilakukan perbuatan melawan hukum oleh tenaga kesehatan sehingga dapat dituntut ganti rugi oleh korban.

Namun, tidak jarang ditemui dalam kasus malapraktik di Indonesia tidak diselesaikan dengan keputusan hukum yang tetap, sehingga hal ini memberikan sinyal bahwa adanya ketidakpastian hukum secara khusus bagi para pasien korban malapraktik medis. Sudah saatnya, diperlukan suatu kepastian hukum yang jelas untuk hak-hak korban maalpraktik tenaga medis.

Terkait tanggung jawab hukum malapraktik medis, ia melanjutkan jika tindakan dokter sudah mendapat persetujuan pasien, maka tanggung jawab hukumnya ada pada dokter. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Jika pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran atau semua bentuk kelalaian tenaga kesehatan yang merugikan pasien dirumah sakit atau terhadap semua bentuk kelalaian  serta kesalahan dalam pelayanan terhadap pasien, maka tanggung jawab hukumnya berada di bawah rumah sakit.

Untuk hal ini, undang-undang mengaturnya dalam Pasal 17 ayat (2) Permenkes No.290/MENKES/PER/III 2008, pasal 46 UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 58 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan serta Pasal 77 UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Tags:

Berita Terkait