Keterangan Tidak Halal juga Wajib
Kolom

Keterangan Tidak Halal juga Wajib

Kewajiban ini juga diatur Undang-Undang No.33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hal ini luput disadari oleh pelaku usaha dan masyarakat. Pemerintah terlalu fokus pada sosialisasi dan upaya peningkatan produk yang disertifikasi halal.

Bacaan 5 Menit

Perlu disadari bahwa kewajiban pencantuman keterangan tidak halal sama pentingnya dengan kewajiban sertifikasi halal. Sayangnya hal ini tidak banyak disadari oleh pelaku usaha dan masyarakat. Hal ini tidak sepenuhnya salah mereka karena juga ada peran pemerintah di sini. Selama ini pemerintah fokus pada sosialisasi dan upaya peningkatan produk yang disertifikasi halal. Targetnya semata-mata sertifikasi halal sebelum berlakunya kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman pada tahun 2024. Akibatnya, sosialisasi, edukasi, dan pengawasan terkait dengan kewajiban pencantuman keterangan tidak halal terabaikan.

Keterangan Tidak Halal juga Wajib

Tahapan pemberlakukan kewajiban bersertifikat halal ternyata tidak berlaku untuk kewajiban pencantuman keterangan tidak halal. Tidak ada satu pun ketentuan dalam UU JPH dan peraturan pelaksananya mengatur bahwa kewajiban ini mengikuti tahapan kewajiban bersertifikat halal. Oleh karena itu, produk yang sudah jelas menggunakan bahan tidak halal—seperti babi dan khamar—justru telah wajib mencantumkan keterangan tidak halal sejak berlakunya UU JPH pada 17 Oktober 2014. Sangat disayangkan hingga saat ini belum cukup kesadaran dari pelaku usaha di dalam negeri untuk memenuhi kewajiban ini. Akibatnya adalah konsumen muslim di Indonesia yang sangat besar jumlahnya tidak terlindungi.

Sebagaimana ketentuan yang berlaku pada pencantuman label halal, keterangan tidak halal juga harus mudah untuk dilihat dan dibaca oleh konsumen. Berdasarkan Pasal 94 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP JPH), keterangan tidak halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.

Merujuk pada ketentuan ini, maka sepatutnya restoran dan rumah makan yang menyajikan makanan dan diminum tidak halal memajang keterangan tidak halal di depan restoran. Cara ini seperti restoran dan rumah makan yang telah bersertifikat halal memajang label halal. Dengan demikian, tidak perlu lagi terjadi konsumen muslim masuk ke dalam restoran atau rumah makan yang jelas menyajikan makanan dan minuman tidak halal. Cara yang sama berlaku pula untuk produk-produk lain yang terikat kewajiban sertifikat halal baru pada tahun 2026 dan seterusnya.

Sanksi Terlalu Ringan

Selain kurangnya sosialisasi, edukasi, dan pengawasan terhadap kewajiban pencantuman keterangan tidak halal, sanksi atas pelanggaran kewajiban ini juga terlalu ringan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP JPH), BPJPH hanya dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Bagaimana jika pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis dari BPJPH? Apabila mengacu pada PP JPH, maka tidak ada sanksi yang lebih berat yang bisa dijatuhkan oleh BPJPH kepada pelaku usaha yang tidak patuh. Padahal, BPJPH dapat menjatuhkan sanksi administratif yang lebih berat—mulai dari denda sampai perintah penarikan barang dari peredaran— untuk pelanggaran kewajiban yang lain.

Sebelum diamandemen melalui Undang-Undang Cipta Kerja, UU JPH mengatur bahwa pelanggaran ketentuan kewajiban pencantuman keterangan tidak halal juga dapat dijatuhkan denda. Namun, sanksi denda tersebut dihapus setelah diamandemen dan ketentuan sanksi administratif diatur lewat Peraturan Pemerintah. Tentu saja sanksi yang sangat ringan ini dapat berakibat pada penegakan hukum yang tidak efektif. Pemerintah saat ini sedang menyusun revisi PP JPH. Ini adalah kesempatan baik untuk kembali memasukkan denda administratif dalam PP JPH sebagai pilihan sanksi jika tidak mematuhi kewajiban pencantuman keterangan tidak halal.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam hal ini wajib memenuhi hak konsumen muslim untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai ketidakhalalan produk sebagaimana diatur dalam UU JPH.

Di sisi lain, pemerintah perlu segera menegakkan aturan pencantuman keterangan tidak halal melalui kegiatan sosialisasi, edukasi, dan pengawasan yang efektif. Tidak seperti program sertifikasi halal, penerapan kewajiban pencantuman keterangan tidak halal sangat mudah. Bahkan, tidak memerlukan sumber daya yang banyak baik bagi pemerintah maupun bagi pelaku usaha. Selanjutnya, sanksi yang lebih berat juga perlu dimasukkan dalam peraturan pemerintah agar penegakan hukumnya bisa berlangsung secara efektif. Upaya-upaya tersebut menjadi jaminan agar konsumen, khususnya masyarakat muslim, terlindungi hak-haknya.

*)Albert Boy Situmorang, S.E., S.H., LL.M., adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait