Komnas HAM Beberkan Temuan CCTV Tragedi Stadion Kanjuruhan
Terbaru

Komnas HAM Beberkan Temuan CCTV Tragedi Stadion Kanjuruhan

CCTV stadion Kanjuruhan yang merekam area parkir mengalami kendala teknis karena belum disinkronisasi oleh teknisi sehari sebelum tragedi. CCTV yang mengarah pada lobby utama stadion durasinya lengkap tidak ada yang terhapus.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kantor Komnas HAM di Jakarta. Foto: Istimewa
Kantor Komnas HAM di Jakarta. Foto: Istimewa

Temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), salah satunya mengenai adanya durasi CCTV stadion Kanjuruhan yang terputus atau dihapus pada saat terjadinya insiden setelah pertandingan Arema vs Persebaya, Sabtu (1/10/2022) lalu. CCTV yang diduga dihapus itu yang merekam area lobby utama stadion dan parkir. TGIPF mencatat sedikitnya ada 32 CCTV yang terpasang di stadion Kanjuruhan.

Temuan TGIPF menjelaskan CCTV itu merekam pukul 22.21.30 dengan durasi selama 1 jam 21 menit dan selanjutnya rekaman hilang (dihapus) selama 3 jam 21 menit 54 detik. Kemudian muncul kembali rekaman selama 15 menit. “Hilangnya durasi rekaman CCTV menyulitkan atau menghambat tugas tim TGIPF untuk mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi dan sedang diupayakan untuk meminta rekaman lengkap ke Mabes Polri,” begitu sebagian kutipan laporan TGIPF.

Selain TGIPF, lembaga lain yang melakukan penyelidikan dan pemantauan terhadap tragedi stadion Kanjuruhan yakni Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM, M. Choirul Anam, mengatakan dari hasil penelusurannya ditemukan ada masalah teknis pada CCTV yang mengarah ke area parkir stadion. “Akibatnya, CCTV tidak dapat merekam secara terus-menerus dan terkadang durasinya putus,” kata Anam sebagaimana dalam video yang diunggah di kanal Humas Komnas HAM, Kamis (20/10/2022) lalu.

Kendala CCTV itu terjadi karena teknisi melakukan penggantian rekaman CCTV pada Jum’at (30/9/2022) yakni sehari sebelum tragedi Kanjuruhan. Setelah dilakukan penggantian teknisi belum melakukan sinkronisasi CCTV dengan perangkat lain. Anam menyebut telah melihat jejak digital rekaman CCTV tersebut termasuk perubahan IP Address.

Untuk CCTV yang merekam area lobby utama stadion, Anam mengatakan durasi rekamannya utuh. CCTV itu merekam apa yang terjadi di area lobby utama ketika insiden di stadion Kanjuruhan terjadi. Alat perekam CCTV atau DVR yang diambil aparat kepolisian telah melalui proses komunikasi antara pihak Dispora dan kepolisian dan telah dilakukan proses serah terima pada 2 Oktober 2022. “DVR dibawa aparat kepolisian ke laboratorium forensik. Kami telah mendapatkan salinan rekaman CCTV,” ujarnya

Sebelumnya Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menilai dihapusnya sebagian durasi CCTV di stadion Kanjuruhan itu menunjukan ada potensi terjadinya obstruction of justice. Dia menduga obstruction of justice itu dilakukan aparat kepolisian. Laporan TGIPF menyebut CCTV di area stadion dilarang untuk diunduh dan ada upaya kepolisian untuk mengganti rekaman CCTV dengan yang baru. TGIPF juga menyatakan ada durasi yang hilang atau dihapus dalam rekaman CCTV sehingga menyulitkan TGIPF dalam melakukan penelusuran fakta.

“Anehnya TGIPF tidak menjadikan temuan tersebut sebagai poin desakan untuk dapat diselidiki lebih lanjut. Padahal dugaan tindak obstruction of justice merupakan bagian dari tindak kejahatan yang harus diusut secara tuntas,” ujar Fatia dikonfirmasi, Rabu (19/10/2022) lalu.

Fatia berpendapat tragedi stadion Kanjuruhan harus dikonstruksikan sebagai pelanggaran HAM berat mengingat terjadi serangan secara sistemik oleh aparat terhadap penduduk sipil. Sehingga berpotensi terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditegaskan pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Menurut Fatia tidak tegasnya desakan TGIPF bisa dilihat dari rekomendasi yang ditujukan kepada Polri dan TNI. TGIPF seolah menutup mata bahwa ada pertanggungjawaban hukum terhadap atasan dalam penggunaan kekuatan oleh aparat. Dalam laporannya TGIPF menyebut ada dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando.

Padahal dalam doktrin pertanggungjawaban komando jelas sekalipun penggunaan kekuatan tidak berdasarkan perintah atasan, maka komandan atau pimpinan kesatuan tersebut tetap bertanggung jawab secara hukum. Karena berdasarkan kewenangan yang dimilikinya tidak melakukan kontrol dan pencegahan kepada bawahan sehingga timbul korban.

Tags:

Berita Terkait