Kontraktor KKS Tak Patuhi Cost Recovery dan Pajak
Utama

Kontraktor KKS Tak Patuhi Cost Recovery dan Pajak

BPK menemukan masih ada kontraktor KKS yang belum mematuhi sepenuhnya aturan cost recovery dan pajak. Mengakibatkan kekurangan penerimaan negara dari sektor migas sebesar Rp994,40 miliar.

FITRI NH
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya ketidakpatuhan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan. Temuan tersebut disampaikan oleh BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2013 di Komplek Senayan Jakarta, Senin (14/4).

Ketua BPK Hadi Poernomo mengatakan dalam pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi pada delapan KKKS, BPK menemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan negara dari sektor migas senilai Rp994,40 miliar. “Ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan tersebut mengakibatkan kekurangan penerimaan negara dari sektor migas senilai Rp994,40 miliar,” kata Hadi.

Menurut Hadi, ketidakpatuhan KKKS terhadap ketentuan cost recovery dilakukan dengan cara membebankan biaya-biaya yang semestinya tidak dibebankan dalam cost recovery. Pembebanan biaya tersebut, lanjutnya, akan mengurangi nilai bagi hasil produksi minya dan/atau gas bumi yang berdampak pada pengurangan penerimaan negara.

Dalam konteks perpajakan, BPK menemukan beberapa hal antara lain, pemerintah belum memperoleh bagian atau kehilangan pendapatan dari bagi hasil pengelolaan kegiatan usaha migas minimal senilai AS$11,896.93 ribu atas kewajiban pembayaran Pajak Perseroan (PPs) dan Pajak Bunga Dividend an Royalti (PDBR) bagian kontraktor Tahun 2011 dan 2012 masing-masing senilai AS$4,943.09 ribu dan AS$6,953.84 ribu.

Selain itu, Hadi menyebutkan adan keterlambatan pembayaran pajak pertambahan nilai yang belum disetor oleh kontraktor ke kas negara senilai AS$279.89 ribu dan pembayaran pajak penghasilan pemegang participating intereset (PI) tidak sesuai tariff production sharing contract (PSC) senilai AS$881.52 ribu.

Ketidakpatuhan kontraktor, kasus pembebasan cost recovery dan kekurangan penerimaan negara dari perpajakan sektor migas, dinilai Hadi tidak lepas dari belum optimalnya kinerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, SKK Migas belum maksimal melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan ketentuan cost recovery dan perpajakan. “Pengawasan SKK Migas belum optimal,” ungkap Hadi.

Sayangnya, saat mencoba mendapatkan klarifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait ketidakpatuhan KKKS atas sektor perpajakan, Direktur P2Humas DJP tidak dapat dihubungi. Telepon dalam keadaan tidak aktif.

Namun sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany menegaskan DJP akan meningkatkan  pemeriksaan pajak properti dan pajak sektor pertambangan kelas menengah. Hal tersebut bertujuan untuk memenuhi target penerimaan pajak tahun 2014.

"Jika sektor pemeriksaan pajak properti dan pertambangan kelas menengah ditingkatkan, saya yakin target penerimaan pajak tahun depan akan tercapai," kata Fuad.

Selama ini, lanjutnya, DJP mengalami kesulitan untuk mendeteksi aktivitas sektor pertambangan kelas menengah. Pasalnya, pertambangan kelas menengah kerap melakukan aktivitas pertambangan melalui pelabuhan tikus. Apalagi, pemerintah daerah juga tidak pernah melaporkan keberadaan pertambangan kelas menengah dan melakukan pengecekan. "Pemerintah daerah hanya memberikan izin usaha saja," jelasnya.

Fuad tak menampik potential lost dari sektor pertambangan kelas menengah bisa mencapai triliunan rupiah. Ia berjanji meningkatkan koordinasi agar potensi pajak dari sektor tersebut dapat dimaksimalkan.
Tags:

Berita Terkait