KPA Ungkap 6 Masalah Kebijakan Food Estate
Utama

KPA Ungkap 6 Masalah Kebijakan Food Estate

Menimbulkan beragam masalah agraria di lapangan. Petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya seharusnya menjadi aktor utama agenda pembangunan, bukan menyandarkan kepada korporasi pangan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Sejak masuk target percepatan pelaksanaan PSN tahun 2020 dengan nilai investasi dan luas tanah yang fantastis, Dewi melihat program ini belum memberikan hasil yang sepadan, apalagi memuaskan. Misalnya di Kalimantan Tengah mengalami penurunan produksi gabah dan berujung gagal panen. Bahkan, kebijakan Food Estate ini menimbulkan sedikitnya 5 masalah. (Baca Juga: KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah)

Pertama, menambah jumlah dan kompleksitas konflik agraria akibat perampasan tanah rakyat demi pengadaan tanah proyek Food Estate. Salah satu contoh pengalihan 2.051 hektar hutan adat Tombak Haminjon Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi areal Food Estate di Sumatera Utara.

Ketimbang menggusur wilayah adat dan tanah pertanian produktif, Dewi merekomendasikan pemerintah seharusnya mengambil tanah HGU yang terlantar. Dia mencatat banyak HGU dibiarkan terlantar dan masih tetap diklaim perusahaan negara maupun swasta dan tak kunjung ditertibkan pemerintah. Melansir data Kementerian ATR/BPN tanah HGU terlantar mencapai 1,19 juta hektar.

“Kenapa tanah HGU terlantar tidak menjadi sasaran Food Estate? Yang digusur malah wilayah adat dan tanah pertanian produktif yang sedang dituntut penyelesaian konfliknya oleh masyarakat,” kata Dewi Kartika ketika dikonfirmasi, Jumat (7/1/2022).

Kedua, meningkatkan potensi kerusakan lingkungan. Dewi melihat sebagian besar lokasi proyek Food Estate ini berada di lahan gambut (1,42 juta hektar). Dia mengingatkan program cetak sawah 1 juta hektar di atas lahan gambut yang digagas mantan Presiden Soeharto berujung gagal total dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Ekosistem gambut penting dipelihara guna mengantisipasi bencana kebakaran hutan dan lahan sebagaimana diatur dalam PP No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Food Estate dinilai berpotensi mengakibatkan deforestasi skala besar karena pengadaan tanah dilakukan dengan mengubah peruntukan kawasan hutan. Mekanisme itu diatur dalam PermenLHK No.24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Kebijakan ini semakin menunjukkan mudahnya peruntukkan hutan untuk PSN, tapi sulit untuk perlindungan hak atas tanah bagi petani, penggarap dan masyarakat hukum adat yang selama ini berkonflik dengan klaim kawasan hutan.

Ketiga, terjadinya proletarisasi petani dan hilangnya keluarga petani kecil. Dewi menyebut program ketahanan pangan ini menyandarkan produksi pangan dari hulu sampai hilir kepada korporasi pangan besar. Tercatat beberapa korporasi swasta besar siap berinvestasi di proyek Food Estate. Keterlibatan militer melalui Kementerian Pertahanan dalam mengelola dan mengeksekusi Food Estate, menurut Dewi menunjukkan pemerintah tidak memberi kepercayaan penuh kepada petani sebagai produsen pangan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait