KPA Ungkap 6 Masalah Kebijakan Food Estate
Utama

KPA Ungkap 6 Masalah Kebijakan Food Estate

Menimbulkan beragam masalah agraria di lapangan. Petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya seharusnya menjadi aktor utama agenda pembangunan, bukan menyandarkan kepada korporasi pangan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Keempat, militerisme pertanian dan pangan dalam Food Estate. Alih-alih memperkuat posisi, peran dan sistem pertanian rakyat yang lebih modern dan terlindungi sebagai penopang krisis pangan, Dewi melihat justru militerisme pertanian dan pangan yang dipilih dalam sistem Food Estate. Dewi menekankan profesionalisme militer bukan di bidang pertanian.

“Maret 2021, BPK menemukan ada 21 masalah pada program cetak sawah baru. Pengalaman cetak sawah itu harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah ketika ingin melibatkan militer dalam bidang pertanian.”

Kelima, sistem Food Estate menurut Dewi mirip sistem tanam paksa, sehingga dapat disimpulkan kebijakan ekonomi Indonesia telah kembali ke era kolonialisme. Perbandingan sistem Food Estate dengan sistem tanam paksa antara lain lahan tanam paksa dilakukan dengan perampasan tanah melalui Domein Verklaring, Food Estate lahannya diperoleh dengan cara merampas tanah melalui klaim PSN.

“Sistem tanam paksa digarap oleh budak (perbudakan petani), dan sistem Food Estate memaksa petani pemilik tanah menjadi buruh tani harian kontrak di lokasi Food Estate (proletarisasi petani),” bebernya.

Keenam, munculnya krisis pangan. Ketergantungan impor pangan yang melegitimasi agenda Food Estate merupakan dampak dari belum dijalankannya reforma agraria sejati. Pemerintah harus melakukan penataan ulang struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria yang lebih berkeadilan.

“Petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya harus menjadi aktor utama agenda pembangunan, bukan menyandarkan kepada korporasi pangan,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait