KPK Ingatkan ESDM Soal Renegosiasi Kontrak Tambang
Aktual

KPK Ingatkan ESDM Soal Renegosiasi Kontrak Tambang

YOZ
Bacaan 2 Menit
KPK Ingatkan ESDM Soal Renegosiasi Kontrak Tambang
Hukumonline
KPK telah melakukan kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batubara (minerba) dan telah dipaparkan pada Kementerian ESDM dan pihak terkait pada Agustus 2013. Hasil kajian KPK menyatakan, ada celah terjadinya kerugian negara yang disebabkan tidak optimalnya pungutan royalti dari 37 Kontrak Karya (KK) dan 74 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Humas KPK Johan Budi SP mengatakan, salah satu temuan KPK terkait jenis tarif PNBP yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada IUP mineral. Dari temuan ini, kata Johan, Kementerian ESDM telah menyepakati akan melakukan renegosiasi tentang tarif royalti pada semua KK dan PKP2B disesuaikan dengan PP Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku.

“Serta menetapkan sanksi bagi KK dan PKP2B yang tidak kooperatif dalam proses renegosiasi,” kata Johan dalam siaran pers yang dikutip hukumonline, Senin (3/3).

Johan melanjutkan, terkait hal ini, KPK telah mengirimkan surat bernomor B-402/01-15/02/2014 yang ditujukan kepada Menteri ESDM. Surat ini ditembuskan kepada presiden, dikirim pada 21 Februari 2014, agar pihak terkait segera menindaklanjuti. Proses renegosasi mencakup aspek luas wilayah pertambangan, penggunaan tenaga kerja dalam negeri, divestasi serta kewajiaban pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri. KPK melihat proses renegosiasi kontrak ini berlarut-larut.

Padahal, lanjut Johan, dalam pasal 169 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dinyatakan dengan tegas bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan. “Artinya, renegosiasi kontrak semestinya sudah selesai tanggal 12 Januari 2010,” tuturnya.

Dia menambahkan, berlarut-larutnya proses renegosiasi mengakibatkan tidak terpungutnya penerimaan negara dan merugikan keuangan negara. KPK memperkirakan, selisih penerimaan negara dari satu perusahaan besar (KK) saja sebesar US$ 169,06 juta per tahun. 

Johan mencontohkan, PT. FI sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti emas sebesar 1 persen dari harga jual per kg. Padahal, di dalam peraturan pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75 persen dari harga jual emas per kg.

Dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh PT. FI, terjadi kerugian keuangan negara sebesar 169 juta dolar AS setiap tahun dari yang semestinya menerima 330 juta dolar AS. Kenyataannya, negara hanya menerima 161 juta dolar AS.

Hal serupa juga terjadi pada PT. VI yang tidak menyesuaikan tarif royaltinya. Akibatnya, kata Johan, negara mengalami kerugian pendapatan royalti sebesar 65,838 juta dolar AS setiap tahun. Pemerintah yang semestinya menerima 72 juta dolar AS dari royalti setiap tahun, hanya menerima 1/12 dari yang seharusnya sebesar 6,162 juta dolar AS.

Lebih jauh, hasil kajian KPK menemukan adanya kerugian keuangan negara dari hasil audit tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), yaitu sebesar 6,7 triliun rupiah (2003-2011) akibat kurang bayar royalti dan potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara sebesar 1,224 miliar dolar AS (2010-2012) dan dari 180 perusahaan pertambangan mineral sebesar 24,661 juta dolar AS (2011).

Menurut Johan, KPK menyayangkan tidak ada sanksi yang tegas bagi pemegang kontrak yang enggan melakukan renegosiasi dan penyesuaian tarif royalti. “Sebagai upaya di bidang pencegahan, KPK mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah tegas termasuk dalam pemberian sanksi. Karena pembiaran proses renegosiasi kontrak ini, berujung pada kerugian keuangan negara,” katanya.
Tags:

Berita Terkait