Lawan atau Lari? Batasan Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana
Kolom

Lawan atau Lari? Batasan Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana

Pengambilan keputusan sepenuhnya tunduk pada kebijakan aparat penegak hukum. Penting bagi aparat berwenang untuk memahami aspek psikologis pembelaan diri dan pendekatan sosiologis.

Bacaan 4 Menit

Ketiga, berlaku prinsip proporsionalitas dalam arti terdapat keseimbangan antara bentuk ancaman yang timbul dengan kewajaran membela diri (reasonable force). Misalnya pukulan dengan tangan kosong tidak boleh serta merta dibalas dengan senjata tajam karena menimbulkan situasi yang berat sebelah. Hal serupa berlaku pula terhadap perbedaan kekuatan fisik antara pria dan wanita atau jika pihak yang terlibat terpaut perbedaan usia jauh. Pukulan orang dewasa berumur 30 tahun tentu memiliki daya rusak yang jauh berbeda dibandingkan pukulan bocah berusia 10 tahun.

Keempat, prinsip subsideritas yang bermakna pembelaan diri merupakan satu-satunya jalan terakhir. Berdasarkan prinsip ini, dilarang menggunakan serangan mematikan jika seseorang mampu menghindari ancaman dengan cara melarikan diri (retreat rule). Namun, terdapat pengecualian dalam klausul stand-your-ground law atau castle doctrine (Gardner & Anderson, 2013:140). Artinya, seseorang yang tidak melakukan perbuatan melawan hukum tetapi mengalami serangan di tempat ia berhak berada tidak wajib untuk melarikan diri. Alih-alih, ia memiliki hak mempertahankan diri di tempatnya semula, termasuk menggunakan kekuatan yang mematikan (deadly force). Contoh dari penerapan stand-your-ground adalah apabila terjadi perampokan di dalam rumah, maka sang pemilik boleh membela diri dengan cara apa pun. Rasionya adalah setiap orang berhak untuk mempertahankan harta bendanya (defense of property) dan melindungi privasi serta keamanan “kastel”-nya (defense of habitation) (Dressler, 2012:260/261).

Sebagai salah satu bentuk insting dasar, pembelaan diri untuk bertahan hidup kadang berbenturan dengan aspek pidana yang bertujuan melindungi segala kepentingan umum. Tipisnya benang pemisah antara kedua elemen tersebut membuat proses pengambilan keputusan sepenuhnya tunduk pada kebijakan aparat penegak hukum. Oleh karena itu, penting bagi aparat berwenang untuk memahami aspek psikologis pembelaan diri seseorang yang berada pada mode lawan atau lari (fight-or-flight). Pendekatan sosiologis untuk menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat juga diperlukan. Hak pembelaan diri harus pula memperhatikan prinsip proporsionalitas guna menghindari timbulnya penyalahgunaan keadaan yang berat sebelah.

*)Romi Hardhika, Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait