Lima Urgensi atas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
Terbaru

Lima Urgensi atas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Seperti menghemat waktu dan biaya penanganan perkara, hingga menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber diskusi bertajuk 'Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana', secara daring. Foto: RFQ
Narasumber diskusi bertajuk 'Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana', secara daring. Foto: RFQ

Sudah belasan tahun, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana masih jalan di tempat. Padahal, keberadaan RUU tersebut sangat penting bagi penegak hukum dalam upaya proses pengembalian aset hasil tindak pidana terutama di luar negeri.

Direktur Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mungki Hadipraktito mengatakan selama ini kewenangan penegak hukum dalam perampasan aset terbatas. Meski terdapat UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun proses eksekusi aset membutuhkan waktu panjang, mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi setidaknya membutuhkan waktu dua tahun.

“Ini prosesnya cukup melelahkan. Perampasan aset tidak bisa berdiri sendiri karena ada menyelesaikan tindak pidananya (asalnya, red) dulu,” ujar Mungki dalam diskusi bertajuk “Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana”, secara daring pekan lalu. (Baca Juga: Strategi Agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Masuk Pembahasan)

Dia menerangkan selama ini terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perampasan aset. Seperti, dalam Pasal 10 KUHP, perampasan aset masuk dalam pidana tambahan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tak hanya itu, pengaturan perampasan aset tanpa pemidanaan, seperti Pasal 67 UU 8/2010 jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Kemudian Pasal 32, 33, dan 34 UU 31/1999 melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Namun demikian, bagi aparat penegak hukum pengaturan dalam proses tersebut masih dirasa belum cukup fleksibel. Karena itu, dibutuhkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana penting untuk dapat disahkan menjadi UU sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum. Menurutnya, terdapat lima poin urgensi pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Pertama, menghemat waktu dan biaya penanganan perkara. Sebab, tahapan perampasan aset membutuhkan waktu panjang sejak penyelidikan hingga eksekusi barang rampasan aset hasil tindak pidana. Bila menggunakan instrumen yang terdapat dalam RUU Rampasan Aset Tindak Pidana bakal jauh lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. “Kalau mengacu ekonomi dengan modal seminimal mungkin mendapatkan hasil maksimal,” ujarnya.

Kedua, jangkauan perampasan aset lebih jauh dari peraturan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan potensi asset recovery. Terdapat beberapa kriteria aset yang dapat dirampas. Seperti aset yang diperoleh hasil dari tindak pidana; aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan aset; aset yang merupakan barang temuan; aset sitaan dari tindak pidana; dan aset yang sah untuk mengganti dari tindak pidana.

Ketiga, substitusi aset untuk aset yang tidak dapat disita di luar negeri. Menurutnya, bila terdapat aset hasil tindak pidana di luar negeri yang tidak dapat dirampas, maka dapat diganti aset yang setara dengan nilai tersebut. Dengan begitu, tidak perlu merampas dengan mekanisme yang sulit menggunakan mutual legal asistance (MLA) yang memerlukan waktu panjang. “Kalau ada ketentuan ini bisa lebih mudah, efektif dan efisien, sehingga bisa lebih optimal,” kata dia.

Keempat, pengelolaan aset sitaan/rampasan di satu lembaga bakal lebih efektif dan efisien. Praktik di lapangan, kendati terdapat rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), namun masing-masing institusi penegakan hukum melakukan pengelolaan barang rampasan. “Tapi kalau di satu lembaga (baru, red), pengelolaan bisa menjadi lebih efektif dan efisien.”

Kelima, menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh. Menurutnya, melalui mekanisme tersebut termohon harus bisa membuktikan harta yang dihasilkan bukanlah hasil tindak pidana. Dalam Pasal 37 UU 31/1999 sudah mengatur pembuktiakn terbalik. Sayangnya, pengaturannya masih terbatas. “Mengenai jangkauan luas ini, kalau belum ada aturan ini kami agak kesulitan,” katanya.

Kepala Bidang Pemulihan Aset Nasional Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung, Silvia Desty Rosalina mengatakan terdapat tujuan dari RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yakni fakta di lapangan terdapat perkara yang tak dapat disidangkan akibat tersangka melarikan diri, sakit permanen, meninggal, atau sebab lainnya.

Kemudian adanya konsep perampasan aset tanpa penghukuman atau pemidanaan terhadap pelakunya atau dikenal dengan non-conviction based asset forfeiture. Selanjutnya, terhadap aset atau kekayaan yang secara siginifikan tidak seimbang dengan sumber penghasilan/penambahan kekayaan dan berasal dari tindak pidana. “Hal-hal ini menurut saya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat mengisi kekosongan hukum yang mengatur Non-Conviction Based Asset Forfeiture,” kata dia.

Kendatipun terdapat dua aturan berupa Perma 1/2013 dan UU 31/1999, namun tak mengatur perampasan aset terhadap perkara yang tidak dapat disidangkan. Sementara melalui RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat mengambil alih. Begitupula dengan permintaan pemulihan aset dari luar negeri. “UU Perampasan Aset yang efektif yang membangun substansi, mekanisme dan struktur yang memang belum ada dalam hukum positif,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait