Mau Nyapres, Rizal Ramli Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Berita

Mau Nyapres, Rizal Ramli Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Para pemohon meminta Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

Dalam putusan itu, kata Refly, Mahkamah menyatakan pemberlakuan presidential threshold merupakan pendelegasian Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Secara konseptual penafsiran tersebut tidak tepat karena Pasal 6A ayat (5) berkenaan dengan “tata cara”. Sedangkan aturan presidential threshold merupakan salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, bukan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden.

Dalam penafsiran sistematis-gramatikal, seharusnya syarat pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945, khususnya Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”

“Menggolongkan presidential threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat. Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberi pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sehingga persyaratan ini seharusnya digolongkan sebagai close legal policy,” lanjut Refly.  

Menurut putusan MK, ketentuan sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat: (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.”

“Jadi, ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut karena Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan capres dan cawapres. Dengan demikian, ketentuan presidential threshold jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan (4) UUD 1945.”

Pasal 6

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.


Pasal 6A

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Tak hanya itu, Refly menilai Pasal 222 UU Pemilu ini membatasi hak asasi manusia dan tidak didasarkan pada rasional-konstitusional. Bahkan, penerapan ambang batas ini telah menyebabkan ekses-ekses negatif bagi demokrasi Indonesia, seperti candidacy buying (pembelian kandidat); penyingkiran pesaing di tahap awal sebelum pemilihan; dan percukongan politik, yang semua itu menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi “demokrasi kriminal” yang menjadikan uang sebagai landasan untuk memilih pemimpin.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait