Mau Nyapres, Rizal Ramli Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Berita

Mau Nyapres, Rizal Ramli Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Para pemohon meminta Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

Mengutip Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017, Mahkamah pada pokoknya menyatakan “pemberlakuan/penerapan presidential threshold berkesesuaian dengan penguatan sistem presidensial”. Namun, menurut para pemohon secara konseptual atau faktual tidak tepat. Dengan porsi dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang besar itu tidak selalu mutatis mutandis menjadikan pasangan calon dapat memenangi pemilihan presiden.

Menurutnya, penghapusan ketentuan presidential threshold justru akan mendorong partai politik peserta pemilu secara terbuka akan mengajukan capres dan cawapres terbaik. Jika tidak, calon tersebut akan dikalahkan oleh calon alternatif yang muncul secara lebih genuine dan memiliki kapasitas. “Para pemohon meminta Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” pintanya.

Seperti diketahui, aturan presidential threshold sudah beberapa kali diuji di MK. MK kerap menolak uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden ini. Terakhir, melalui Putusan MK No. 49/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan M. Busyro Muqoddas Dkk dan Putusan MK No. 54/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Effendy Gazali, MK menolak pengujian Pasal 222 UU Pemilu ini.     

Dalam pertimbangan putusan itu, Mahkamah merasa tidak punya alasan untuk mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, diantaranya putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008, putusan MK No. 53/PUU-XV/2017. Mahkamah berpendapat Pasal 222 UU Pemilu merupakan constitutional engineering, bukan constitutional breaching (pelanggaran konstitusi) sebagaimana keterangan para pemohon.

Bagi Mahkamah, putusan MK mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu yang termuat dalam putusan-putusan sebelumnya sudah didasarkan pertimbangan komprehensif yang bertolak pada hakikat sistem pemerintahan presidensial sesuai desain UUD 1945. Bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-peristiwa konkrit. Karena itu, Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana dalam Putusan MK sebelumnya.

Mahkamah berpendapat ketentuan persentase tertentu perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik sebagai syarat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden bukanlah suatu bentuk pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih. “Karenanya, dalil para pemohon perihal pertentangan Pasal 222 UU Pemilu didasarkan pada argumentasi Pasal 222 UU Pemilu merupakan pembohongan dan manipulasi suara pemilih, tidak beralasan menurut hukum.”

Tags:

Berita Terkait