Beberapa waktu yang lalu, publik dihebohkan atas perseteruan dua musisi terkait royalti lagu dan soal perizinan dalam UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hak cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas karena mencakup ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Keberadaan hak cipta ini dibatasi oleh jangka waktu perlindungan yang paralel dengan hak ekonomi penciptanya. Berdasarkan UU Hak Cipta, maka objek hak cipta akan menjadi publik domain, sehingga bebas digunakan oleh siapapun. Hak cipta ini bersifat tidak berwujud dan melekat kepada kreativitas penciptanya secara eksklusif.
Terkait hal ini, dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai Hak Cipta dalam musik, Program Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) mengadakan sebuah kegiatan seminar online mengenai pengeksploitasian hak cipta lagu.
Baca Juga:
- Program DJKI Keluarkan Indonesia dari Daftar Pantau Prioritas Pelanggaran KI
- Tiga Masalah Utama HKI Sebagai Jaminan Utang
Mengeksploitasi suatu ciptaan berarti menggunakan hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh ciptaan yang bersangkutan. Hal ini berarti harus dicapai sebuah kesepakatan mengenai penggunaan hak cipta antara pemegang hak cipta dan orang lain yang mengeksploitasi ciptaan bersangkutan.
“Hak cipta sebagai hak eksklusif mempunyai dua unsur, yaitu hak moral dan hak ekonomi yang keduanya diakui dan dikukuhkan di UU Hak Cipta, sehingga memberikan pondasi eksploitasi ekonomi interact dari pencipta,” ujar Ketua Prodi Doktor Hukum UPH, Henry Soelistyo, Jumat (19/5).
Dari aspek instrumental, Henry mengungkapkan pengeksploitasian hak cipta lagu memerlukan landasan. Sehingga terhindar dari pencipta yang mengoperasionalkan sendiri peraturannya, padahal ada rujukan mengenai pengeksplotasian.