“Jadi semakin tinggi kemampuan nasional kita maka semakin tinggi pula penguasaan negara atas sumber daya alam dan produksi yang penting bagi rakyat,” kata Hamdan.
Tidak Bertentangan
Seperti diketahui, setelah Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat Atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba), muncul respons beberapa kalangan yang menilai PP Minerba dan Peraturan Pelaksananya, yakni Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 bertentangan dengan UU No.4 Tahun 2009tentang Pertambangan Batubara (Minerba).
Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil menyebut tiga pokok ketentuan dalam Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 yang layak dikritisi. Pertama, pemberian kelonggaran ekspor terhadap mineral yang belum diolah dan dimurnikan selama 5 tahun sejak Januari 2017. Kedua, pemberian kelonggaran ekspor mineral selama 5 tahun sejak Januari 2017 kepada pemegang Kontrak Karya (KK) yang melakukan perubahan bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ketiga, mekanisme perubahan bentuk perubahan pengusahaan dari KK menjadi IUPK.
Namun, DirekturJenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono,membantah bahwa regulasi tiga regulasi baru yang diterbitkan pemerintah bertentangan dengan UU Minerba. “Saya mengatakan PP 1/2017 tidak bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009, kenapa demikian, karena di Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 ayat 1, 2, 3, dinyatakan IUP dan IUPK itu wajib melakukan pengolahan dan pemurnian, tetapi waktunya ditetapkan tidak diundang-undang itu tetapi di PP 23, yang mana dinyatakan sampai Januari tahun 2014, kemudian PP 23 diubah menjadi PP 1/ 2014, lalu diubah lagi menjadi PP 1/ 2017,”katanya.
Bambang menegaskan komitmen Pemerintah dalam melaksanakan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 beserta Peraturan Menteri ESDM sebagai regulasi turunannya adalah solusi terbaik untuk mempercepat peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri.“Dalam jangka panjang kita akan menikmati hasilnya," kata Bambang.
Pernyataan Bambang diamini anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian. Menurutnya, UU Minerba tak ada pertentangan dengan konstitusi. Hanya saja pemerintah dinilai tidak dapat mengimplementasika UU Minerba melalui atuan turunan di bawahnya. Ia mengatakan dengan PP 1/2017 mengharuskan UU Minerba dilakukan revisi. “Jadi kalau UU ini digunakan maka akan melanggar hukum. PP-nya pun tidak tepat dengan penjabaran UU ini. Pemerintah tidak tegas dalam melaksanakan UU Minerba. Harusnya konsisten,” ujarnya.
Ia menunjuk Pasal 112 UU Minerba yang menyatakan, “Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional”.
Menjadi persoalan, kata Ramson, Pasal 112 tidak menyebutkan adanya frasa ‘Kontrak Karya’. Ia menilai pasal-pasal dalam UU Minerba pun memiliki celah untuk dipersoalkan ketika berkaca dari kasus Freeport. Pasalnya Freeport memegang kontrak karya. Hal itu pula dapat dipersoalkan oleh Freeport terkait kewajiban divestasi hingga 51 persen.
“Jalan satu-satunya UU Minerba harus direvisi. Kalau melalui jalur prolegnas lama, yang cepat itu dengan Perppu. Saya realistis saja,” ujarnya.
Perlu Konsisten
Amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mesti dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah, tanpa terkecuali. Sejatinya UU Minerba sudah sesuai dengan konstitusi. Tak ada pertentangan antara UU Minerba dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33. Sayangnya, pada praktiknya masih terjadi komplikasi persoalan. Dalam kasus Freeport, misalnya. Dibutuhkan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan amanat UU Minerba.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan regulasi terkait pertambangan nyaris adanya ketidakkonsistenan terhadap UU Minerba. Meski UU Minerba sudah sesuai dengan konstitusi, namun justru aturan pelaksana acapkali seolah ‘mengakali’ dalam praktik di sektor pertambangan mineral dan batubara.
“Hampir semua persoalan pertambangan kita ada ketidakkonsistenan regulasi,” ujarnya.
Ia menunjuk Pasal 170 UU Minerba yang menyatakan,”Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Nah sejak ada UU Minerba, Freeport misalnya tak melaksanakan pemurnian dan pengolahan di dalam negeri dengan membangun smelter. Pemerintah pun tak tegas terhadap Freeport. Menurut Enny, pemerintah mestinya konsisten menjalankan UU Minerba. Ia berpandangan ketika Freeport tidak membangun smelter dan pemerintah mendiamkan, sama halnya pemerintah tidak konsisten terhadap UU Minerba.
“Jadi sapa yang melanggar UU, ya pemerintah. Kalau PP justru mengakali seperti ini, mengapa para pengusaha tidak mau mengikuti UU, karena pemerintahnya juga tidak konsisten,” ujarnya.
Menurut Enny, dalam sistem perekonomian para pelaku usaha membutuhkan kepastian hukum dan konsistensi kebijakan dari pemerintah. Ia yakin, ketika pemerintah konsisten dengan regulasi yang dibuatnya, maka para pelaku usaha tambang bakal patuh terhadap pemerintah dengan menjalankan amanat UU Minerba.
Sebaliknya, bila pemerintah tidak konsisten dengan aturan maka tak saja merugikan investor, namun juga negara tempat investasi yang ditanam investor.“Sejak UU 2009 sampai 2014 ada gak langkah pemerintah melakukan tindakan sebagaimana pasal 103 dan 170 ini, nothing,” ujarnya.
Lebih jauh Enny berpandangan tidak nyaris semua sektor Minerba tidak dilakukan pengalohan dan pemurnian di dalam negeri. Padahal UU Minerba mewajiban terhadap hasil tambang harus diolah untk dimurnikan terlebih dahulu sebelum diekspor ke luar negeri. Bagi Indonesia pemurnian hasil tambang menjadi penting, karena memiliki nilai tambah.
“Kalau kita mau mengoreksi, ya pemerintahnya dahulu. Punya niat gak melaksanakan implementasi UU Minerba,” ujarnya.
Bila dilihat pilihan antara hulu dan hilir, dapat diidentifikasi bahwa pilihan hilir adalah kegiatan yang selama ini menjadi idealisme konstitusi karena kegiatan hilirisasi turut melibatkan partisipasi rakyat yang lebih luas. Nilai tambahnya lebih besar sehingga lebih besar juga keuntungan bagi rakyat. Maka, bila melihat kebijakan hilirisasi yang dicanangkan oleh negara, maka bisa dipandang bahwa itulah kebijakan yang diinginkan oleh konstitusi.
Hal ini dikarenakan persoalan pokok yang berkaitan dengan konstitusi adalah sejauh mana pengelolaan sumber daya alam membawa kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat banyak. Dengan memahami aspek kegiatan hilirisasi yang sesuai dengan amanah konstitusi, maka tugas negara selanjutnya adalah konsisten mengarahkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana cita-cita konstitusi.
Konstitusi negara Republik Indonesia, sama halnya dengan semua negara-negara di dunia, sangat nasionalistik. Seluruh hal yang diatur dalam konstitusi adalah dalam rangka untuk mencapai tujuan negara, kepentingan nasional, dan terpenting adalah kepentingan rakyat banyak. Indonesia yang dibentuk dalam rangka memenuhi cita-cita kemerdekaan, melindungi segenap bangsa Indonesia, dan tumpah darah Indonesia.(Baca Juga: Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia)
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaanCabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh NegaraBumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasionalKetentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang".
(Baca Juga: Regulasi Labil Berdampak Pada Iklim Investasi Pertambangan)
dikuasai oleh negaraPertamakeduaketigakeempat
stressing
sebesar-besarnya kemakmuran rakyatPertama
KeduaKetigaKeempat
Peringkat pertama
Peringkat keduaPeringkat ketiga
cita-cita yang tertanam dalam pasal 33 UUD 1945 adalah produksi yang sebesar-besar, sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh pemerintah, dengan bantuan kapaital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modal di Indonesia dengan syarat yang ditentukan oleh pemerintah
Apabila tenaga nasional dan kapital tidak mencukupi, kita pinjamkan kapital tenaga asing untuk memperlancar produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya ditanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita seperti hutan dan kesuburan tanah harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat, bagian-bagian pekerjaan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga kapital asing sudah sampai pada satu tingkat, makin lama makin berkurang