Mendorong Partisipasi Publik dalam Perbaikan UU Cipta Kerja Setelah Uji Formil
Terbaru

Mendorong Partisipasi Publik dalam Perbaikan UU Cipta Kerja Setelah Uji Formil

Isu tentang kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang terus mengemuka dan diafirmasi oleh MK lewat pertimbangannya.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kamis (25/11/2021) Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dalam salah satu pertimbangannya, MK menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No. 11 Tahun 2020 Cipta Kerja.

Untuk diketahui, terdapat sejumlah putusan lain terkait uji formil maupun uji materiil Undang-Undang Cipta Kerja yang juga dibacakan MK pada hari yang sama. Putusan-putusan tersebut di antaranya adalah Putusan Nomor 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUUXVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 4/PUU-XIX/2021, serta Nomor 6/PUU-XIX/2021.

Janses Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law, salah satu pemohon uji formil UU Cipta Kerja yang tergabung dalam KEPAL (Komite Pembela Hak Konstitusional) mengingatkan bahwa konsekuensi dari putusan inkonstitusional bersyarat dari MK terhadap UU Cipta Kerja mensyaratkan proses perbaikan Undang-Undang ini dilakukan selama 2 tahun dan sesuai dengan perintah hakim kontitusi.

“Inkonstitusional bersyarat menjadikan DPR dan pemerintah dalam memperbaiki UU Cipta Kerja haruslah sesuai perintah Hakim Konstitusi, yaitu perlu adanya landasan hukum omnibus law, adanya partisipasi publik yang bermakna dan perubahan materi,” terang Jansen lewat keterangannya yang diterima Hukumonline, Sabtu (27/11). (Baca: Catatan Penting Pegiat Konstitusi atas Putusan Judicial Review UU Cipta Kerja)

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti yang juga tergabung dalam koalisi mengungkapkan bahwa putusan MK kali ini telah menjadi dasar hukum yang kuat yang menempatkan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Rachmi dengan tetap memberikan catatan terhadap sikap MK yang dinilai tidak konsisten. “Meskipun masih terdapat inkonsistensi dari putusan MK tersebut,” ujar Rachmi.

Namun begitu Rachmi menilai bahwa dikabulkannya uji formil UU Cipta Kerja oleh MK merupakan wujud dari kemenangan kecil rakyat atas inkonstitusional Omnibus Law Cipta Kerja. Hal ini bisa dipahami jika berkaca dari protes dan penolakan publik yang begitu besar terjadi di tanah air sepanjang 8 bulan pembahasan UU tersebut di DPR.

Rachmi menyebutkan bahwa cacat formil dan inskonstitusionalnya UU Cipta Kerja sebagaimana yang telah diputuskan MK harusnya diikuti dengan sikap yang memandang UU tersebut tidak lagi berlaku dan pelaksanaan terhadap UU ini beserta seluruh peraturan pelaksanaannya harus ditangguhkan. “Perjuangan masih tetap harus dilanjutkan mengingat Hakim MK masih menyatakan UU Cipta Kerja berlaku,” Rachmi mengingatkan.

Perwakilan dari Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan menyebutkan Putusan MK ini menjadikan bangsa Indonesia memiliki pedoman tentang tata tertib pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan mandat konstitusi. Salah satunya adalah mekanisme partisipasi publik. Mekanisme ini menurut Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, telah menempatkan partisipasi publik sebagai syarat konstitusionalitas pembentukan undang-undang.

Menyangkut hal ini, Agus Ruli Ardianyah dari Serikat Petani Indonesia (SPI) mengatakan bahwa indikator partisipasi bermakna harus memperbaiki dengan melibatkan partisipasi rakyat mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sampai pengesahan yang harus menjadi pedoman bagi DPR dan Pemerintah dalam pembentukan undang-undang. Jangan seperti UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan gerakan petani.

“Selain itu, seharusnya Hakim MK juga tegas dalam putusannya, tidak menimbulkan dualisme. Karena Hakim MK menyatakan inkonstitusional bersyarat. Sehingga, menimbulkan ambiguitas terhadap keberlakuan UU ini,” demikian disampaikan Agus Ruli.

Bersayap

Terkait abiguitas putusan, Lodji Nurhadi dari Yayasan Bina Desa menyebutkan bahwa Putusan MK cenderung bersayap dan kental nuansa politik. Dirinya menilai bahwa pengertian konstutusional dan inkonstitusional harusnya punya batas yang jelas, tidak remang-remang. Karena hal tersebut akan berdampak pada masa depan law enforcement itu sendiri. Hal ini menurut Lodji bisa menjadi preseden.

Namun, meski Putusan MK ini tampak gamang dan tak bulat di antara hakim, Lodji mendorong banyak pihak untuk perlu mengapresiasinya. Menurutnya, sejarah bagi MK untuk mengabulkan sebuah gugatan formil. “Kita perlu tetap mengawasi dan memastikan partisipasi rakyat ada dalam setiap proses perumusan kebijakan, terutama dalam pembentukan hukum yang mendampak luas terhadap rakyat, khususnya yang menyangkut hajat hidup para petani dan nelayan kecil serta perempuan pedesaan,” kata Lodji.

Berdasarkan putusan MK ini maka pemerintah dilarang untuk mengeluarkan terlebih dahulu kebijakan strategis dan peraturan perundang-undangan turunan dari UU Cipta Kerja di lapangan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Menurut Direktur Sawit Watch, UU Cipta Kerja bermasalah secara konstitutional sehingga tidak bisa menjadi rujukan bagi aturan di bawahnya.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, memandang bahwa  Undang-Undang ini akan berpotensi mengancam eksistensi, keberlanjutan hidup petani, eksistensi kelompok-kelompok tani, dan kebudayaannya serta kedaulatan petani atas pangan, mengancam berkembangnya pertanian, melemahkan keterampilan petani, dan menghambat berkembangnya organisasi-organisasi petani local.

Sementara, Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menyampaikan apresiasinya terhadap putusan MK karena menilai bahwa UU Cipta Kerja dalam proses pembentukannya syarat dengan kepentingan pemodal dan cacat formil, sehingga memberi waktu untuk gerakan civil society mengonsolidasikan diri dalam memperkuat demokrasi.

Sedari awal pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah disinyalir mengandung cacat formil, karena tidak cermat dan bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Isu tentang kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang terus mengemuka dan diafirmasi oleh MK lewat pertimbangannya.

Koalisi menilai pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khusus klaster pertanian akan berpotensi merugikan hak-hak petani pada umumnya dan menjauhkan pencapaian kedaulatan petani dan pangan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait