“Menebas” Kejahatan Korupsi Saat Terjadi Bencana
Terbaru

“Menebas” Kejahatan Korupsi Saat Terjadi Bencana

Dalam penanganan bencana ada salah satu sektor yang rawan korupsi, yaitu pengadaan barang dan jasa (PBJ).

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ketua KPK Firli Bahuri. Foto: RES
Ketua KPK Firli Bahuri. Foto: RES

Titik rawan kejahatan korupsi dapat terjadi pada berbagai kondisi termasuk saat terjadi bencana. Tindak pidana korupsi berupa suap hingga pemerasan justru terjadi pada kondisi seharusnya rasa kemanusiaan paling diutamakan. Berbagai kasus korupsi saat bencana seperti Gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, Gempa-Tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah dan Tsunami Selat Sunda.

Melihat risiko korupsi tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersepakat untuk melakukan kerja sama pencegahan korupsi. Salah satu bentuk kerja sama yang dilakukan yaitu peningkatan kesadaran pegawai BNPB melalui pendidikan dan pelatihan Ahli Pembangun Integritas (API), serta pemahaman dan penguasaan terkait proses Pengadaan Barang dan Jasa dalam kondisi darurat.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan saat ini ada empat persoalan bangsa yang harus dihadapi yaitu bencana alam dan non-alam, bahaya narkoba, terorisme dan radikalisme, serta bahaya tindak pidana korupsi. “KPK dan BNPB punya tugas berbeda untuk menanggulangi masalah bangsa itu, namun membutuhkan koordinasi satu sama lain agar bisa memenuhi tugas tersebut dan yang terpenting bisa melaksanakan tujuan negara demi keamanan dan kesejahteraan rakyat,” katanya dalam pertemuan kerja sama tersebut di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/1).

Dalam penanganan bencana, lanjut Firli, ada salah satu sektor yang rawan korupsi, yaitu pengadaan barang dan jasa (PBJ). KPK sudah menangani banyak perkara terkait pengadaan barang dan jasa, termasuk yang dilakukan saat bencana. (Baca Juga: Dua Eks Dirut Asabri Divonis 20 Tahun Penjara)

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menambahkan, BNPB harus bisa mengantisipasi agar korupsi PBJ ini tidak terjadi lagi dalam kondisi bencana. “BNPB sudah pasti bisa menanggulangi bencana karena masyarakat perlu pertolongan cepat dan segera. Namun, yang sangat krusial adalah memastikan proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan prosedur yang benar,” tegas Alex.

Sementara itu, Kepala BNPB Suharyanto sepakat untuk memberikan perhatian lebih pada proses pengadaan barang dan jasa dalam penanganan bencana, serta meminta bantuan kepada KPK untuk memberikan pemahaman dan pelatihan mengenai hal tersebut. “Jangan sampai karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman kami, apa yang kami niatkan baik ternyata itu salah dan termasuk dalam tindak pindana korupsi,” ujarnya.

Keprihatinan korupsi saat bencana juga disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mengutip dari situs resminya, ICW menyampaikan berdasarkan kasus yang telah terjadi, titik rawan korupsi dana bencana alam terletak di pengelolaan dan pertanggungjawaban. Karena kondisi mendesak, bantuan harus segera dieksekusi untuk tanggap darurat maupun rehabilitas pasca-bencana. Di sisi lain, pengawasan sangat minim.

“Kasus rehabilitasi sekolah di Lombok dan proyek pembangunan SPAM di Palu-Donggala adalah salah satu bukti rawannya pengawasan dan pengelolaan dana bencana. Kasus rehabilitasi sekolah di Lombok melibatkan anggota DPRD Kota Mataram, kasus proyek pembangunan SPAM di Palu-Donggala melibatkan pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pemotongan dana rekonstruksi masjid pasca gempa di Lombok melibatkan pegawai Kementerian Agama (Kemenag), dan kasus pungli di Banten melibatkan pegawai RSDP,” kutip ICW.

Aktor-aktor ini menyalahgunakan kewenangannya karena merasa ada kesempatan dengan minimnya pengawasan dikarenakan status kejadian luar biasa. Adapun untuk pertanggungjawaban dana bencana, pemerintah harus belajar dari kasus tsunami Aceh. Jangan sampai kesulitan Badan Pemeriksa Keuangan dalam mengaudit dana bencana tsunami di Aceh terulang kembali dalam kasus bencana Lombok, Palu-Donggala, Banten dan daerah lainnya.

Beberapa lembaga yang berwenang terhadap pengelolaan dana bencana menurut UU 24 Tahun 2007 yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008, wewenang pengelolaan dana bencana ada juga dalam lembaga terkait dengan penanggulangan bencana, seperti Kementerian PUPR, Kemenag, dan DPRD.

Berdasarkan titik rawan korupsi dana bencana, pemerintah harus memprioritaskan koordinasi, pengawasan, pengelolaan dana, serta audit. Jika terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam penanganan dana bencana, maka harus ditindak tegas. Pasal 2 Undang-Undang No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan hukuman maksimal dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu adalah keadaan yang mana tindak pidana dilakukan terhadap dana bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, krisis, ataupun kerusuhan.

Sedangkan hukuman maksimal dapat berupa pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun, denda Rp 1 miliar, bahkan sampai pidana mati. Selain itu, perlu perbaikan tata kelola dana bencana oleh pemerintah. Mengingat bencana alam adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari Indonesia karena letak geografis, tindakan pencegahan, tanggap darurat, dan rehabilitasi harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat meminimalisir kesempatan penyalahgunaan dana bencana.

Tags:

Berita Terkait