Mengulas Problematik Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Indonesia
Terbaru

Mengulas Problematik Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Indonesia

Muhammad Yasin menyarankan beberapa hal mulai KIP perlu memperkuat kapasitas dan kapabilitas agar sengketa informasi diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana mestinya hingga penelitian dengan topik area ini lebih intens dilakukan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Tetapi setelah lahirnya UU KIP ini, ada perubahan mendasar mengenai informasi yang dikecualikan. “Bukan hanya mengenai penjelasan jenis-jenis informasi yang dirahasiakan, tetapi juga memberikan kewenangan penyelesaian sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat (KIP),” kata dia.

Terhitung selama periode 2010 sampai dengan 2021, Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memeriksa dan mengadili 3.026 permohonan penyelesaian sengketa informasi. Dari jumlah itu, 75 sengketa informasi diantaranya jadi fokus kajian riset yang dilakukan Yasin.

“Hak atas informasi adalah hak yang dijamin konstitusi, tapi pada saat itu tidak bersifat mutlak. Karena itu pengecualian informasi menurut norma hukum harus dilakukan secara ketat, terbatas, dan harus dilakukan pengujian konsekuensi yang timbul atas kepentingan publik. Jika karakter pengecualian ini tidak dipenuhi, maka pengecualian ini berpotensi disalahgunakan.”

Dari hasil riset yang dilakukannya, ia berpandangan pembentuk UU menghendaki agar penyelesaian sengketa informasi melalui KIP harus didasarkan pada 4 hal. Antara lain norma yang diatur UU KIP, keadilan, pertahanan dan keamanan negara, dan prinsip Kesatuan Negara Republik Indonesia.

Persoalan keadilan pada tahapan pengambilan keputusan berkaitan dengan independensi majelis komisioner dan kemandirian lembaga. “Keadilan prosedur dan proporsionalisme penyelesaian sengketa, khususnya dilihat dari angka penyelesaian sengketa,” ungkap Yasin.

Secara normatif dalam UU KIP, KIP mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa informasi melalui media ajudikasi. Akan tetapi dari riset yang dilakukan, 1.148 perkara diselesaikan melalui pemeriksaan khusus, bukan melalui ajudikasi maupun mediasi. Hal tersebut menurutnya dapat disebut tidak memenuhi prinsip-prinsip fair trial.

Lalu perihal keadilan pasca putusan, dijumpai 3 persoalan keadilan. Pertama, apakah tersedia upaya hukum bagi pemohon yang mengajukan keberatan atas putusan? Kedua, apakah KIP konsisten membuat putusan untuk perkara yang sejenis? Ketiga, apakah putusan dipatuhi dan dijalankan (dieksekusi) dengan baik?

Tags:

Berita Terkait