Menilik Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam KUHP Baru
Utama

Menilik Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam KUHP Baru

Tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit

“Apakah korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana? Atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana,” urainya.

Dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu mengatakan, model dari pertanggungjawaban pidana korporasi terdiri atas 3 hal. Pertama,  pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab atas tindak pidana. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab atas tindak pidana korporasi.

Tuntutan pidana yang dilayangkan atas tindak pidana korporasi juga dapatdiajukan kepada korporasi, pengurus korporasi, maupun korporasi dan pengurus korporasi. Jika UU tidak mengatur subjek hukum korporasi, tuntutan pidana akan diajukan terhadap pengurus korporasi. Terhadap korporasi yang bukan berbadan hukum, pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus dan bisa dikenakan pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib terhadap korporasi. 

“Lalu mitigasinya gimana? Paling gampang ikuti saja asas good corporate governance (GCG). Buktinya, mau tidak mau sistem manajemen sekarang harus dibuat SOP. Banyak perusahaan swasta tidak (membuat), tapi kalau BUMN (harus ada) mana SOP-nya?. Penyidik dan penuntut umum ngeceknya itu paling awal, walau pembuktiannya banyak ya,” ujar mantan Kajati Bali itu.

Hukumonline.com

Yunus Husein saat menjadi pembicara soal dampak tindak pidana korporasi. Foto: RES

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Yunus Husein berpandangan, ada berbagai dampak dari tindak pidana bagi korporasi. Seperti kerugian finansial, reputasi yang buruk, terlibat proses hukum, menyebabkan kejahatan lain berkembang, kekurangan investasi, pembatasan operasi perusahaan, hingga merusak pasar dan persaingan usaha yang sehat.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu menerangkan, soal alasan pembenar dan pemaaf pertanggungjawaban pidana korporasi dapat ditelaah dalam Pasal 50 KUHP Nasional. Yakni, alasan pembenar dan pemaaf dapat diajukan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi. Bahkan dapat juga diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan tindak pidana yang didakwakan kepada korporasi.

Tags:

Berita Terkait