MK Putuskan Pasal Imunitas UU Penanganan Covid-19 Inkonstitusional Bersyarat
Terbaru

MK Putuskan Pasal Imunitas UU Penanganan Covid-19 Inkonstitusional Bersyarat

Demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Penanganan Covid-19 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Aida Mardatillah
Bacaan 7 Menit

“Penempatan frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ dalam pasal tersebut dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ tidak dimaknai ‘bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan’,” demikian kesimpulan pertimbangan Mahkamah.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU No.2 Tahun 2020 inkonstitusional, sehingga menjadi berbunyi “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU No.2 Tahun 2020 menjadi berbunyi “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Menyatakan Pasal 29 Lampiran UU No.2 Tahun 2020 inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan. Namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD”.   

Dissenting opinion

Dalam perkara tersebut, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda yakni Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Ketiganya berpendapat dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Terkait dalil Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 29 UU Penanganan Covid-19, ketiganya berpendapat pandemi covid-19 tidak terukur kapan akan berakhir. Selama itu pula Indonesia berada dalam kondisi kedaruratan.

Setidaknya hingga pandemi Covid-19 ini berubah menjadi endemi, seperti penyakit musiman lainnya yang telah terkendali. Sebab, dampak pandemi Covid-19, boleh jadi tidak berakhir dengan berubahnya menjadi endemi. Karena itu, UU 2/2020 tetap masih diperlukan untuk menjamin legalitas dan legitimasi para pengambil kebijakan dalam menangani dampak negatif dari Covid-19. Berbeda karakter antara pandemi Covid-19 dengan situasi darurat yang lahir karena Pasal 12 UUD Tahun 1945 tentang keadaan bahaya yang melahirkan darurat sipil, darurat perang, dan darurat militer. Perppu yang lahir sebagai akibat Pasal 12 UUD Tahun 1945 itulah yang seharusnya perlu ditentukan tenggatnya.

“Sementara Perppu Penanganan Covid-19 sebagaimana dalam diktum Mengingat berdasarkan Pasal 22 UUD Tahun 1945, bukanlah berdasarkan Pasal 12 UUD Tahun 1945. Demikian pula Keppres Nomor 11/2020 dan Keppres Nomor 12/2020, landasan konstitusional yang dijadikan rujukan adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” demikian pertimbangan dissenting opinion.

Dalam persidangan ini juga dibacakan Putusan Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. Terkait dalil para Pemohon enam perkara tersebut berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU Penanganan Covid-19, Mahkamah menilai tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 di atas.

Karena itu, pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU Covid-19. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU Covid-19 adalah tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah pun memutuskan tidak dapat menerima dan menolak untuk selebihnya permohonan para Pemohon yang lain.

Tags:

Berita Terkait