Pakar Ini Sebut Keberlakuan UU Cipta Kerja Seharusnya Ikut Ditangguhkan
Terbaru

Pakar Ini Sebut Keberlakuan UU Cipta Kerja Seharusnya Ikut Ditangguhkan

Putusan MK itu seharusnya diartikan UU Cipta Kerja ditangguhkan secara keseluruhan sampai dilakukan perbaikan. Peraturan turunan UU Cipta Kerja yang telah terbit apakah ikut ditangguhkan jika sifatnya strategis dan berdampak luas?

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Putusan MK terhadap permohonan uji formil dan materil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus mendapat sorotan publik. Dari 12 permohonan, hanya 1 permohonan yang dikabulkan sebagian yakni uji formil untuk perkara No.91/PUU-XVIII/2020. Putusan MK itu memicu polemik di masyarakat karena dalam amar putusannya MK menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.

Mahkamah menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sebagaimana jangka waktu yang diberikan tersebut. Tapi, MK juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menilai putusan MK itu sebagian jelas dan sebagian lain tidak. Beberapa hal yang jelas dalam putusan tersebut antara lain menyatakan pembentuk UU dinilai ugal-ugalan dan melanggar asas dan tujuan, partisipasi, naskah akademik, serta tidak mengikuti standar, dan metode baku pembentukan UU.

“Parahnya lagi beberapa norma berubah dan berganti tanpa persetujuan,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi secara daring bertema “Babak Baru UU Cipta Kerja”, Senin (29/11/2021) kemarin. (Baca Juga: Ahli Usulkan 4 Tahap Setelah Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja)

Untuk substansi putusan yang tidak jelas, Zainal menerangkan beberapa hal, misalnya apakah UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku atau tidak? Mengacu poin 4 amar putusan MK menyebut UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sesuai tenggang waktu yang telah ditentukan yakni 2 tahun. Jika dalam waktu 2 tahun itu tidak dilakukan perbaikan, maka UU No.11 Tahun 2020 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Poin 4 amar putusan itu seharusnya diartikan UU Cipta Kerja ditangguhkan secara keseluruhan sampai dilakukan perbaikan,” kritiknya.

Kemudian poin 7 amar putusan MK menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020. Jika dikaitkan dengan poin 4, maka UU Cipta Kerja masih berlaku hanya untuk substansi yang sifatnya tidak strategis dan tidak berdampak luas.

“Untuk substansi UU No.11 Tahun 2020 yang bersifat strategis dan berdampak luas ditangguhkan,” kata dia.

Persoalannya, lanjutnya, MK tidak memberikan batasan mana yang termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas. Kemudian bagaimana dengan peraturan turunan UU Cipta Kerja yang telah terbit apakah ikut ditangguhkan jika sifatnya strategis dan berdampak luas? Dia memberi contoh PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dimana salah satu pasalnya menyebut kebijakan pengupahan bersifat strategis dan berdampak luas.

“Saya yakin (semua, red) PP dibuat karena bersifat strategis dan berdampak luas,” ujarnya.

Zainal melihat MK menyatakan permohonan uji materil tidak dapat diterima dengan alasan pengujian formil dikabulkan sebagian. Artinya, MK menekankan uji formil ini berdampak pada materil. Karena itu, tidak tepat jika putusan ini diterjemahkan hanya untuk membenahi sisi formil UU No.11 Tahun 2020 saja. “Jangan sampai nanti yang dibenahi hanya formilnya saja dengan merevisi UU No.15 Tahun 2019,” lanjutnya.

Terkesan kompromi

Salah satu kuasa hukum pemohon uji formil perkara No.6/PUU-XIX/2021, M Imam Nasef mengapresiasi putusan tersebut walaupun isinya terkesan kompromi karena isinya menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. “Putusan MK ini memberikan konfirmasi terhadap polemik selama ini terkait UU No.11 Tahun 2020 dimana banyak pelanggaran dalam proses pembentukannya,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Putusan ini mengukir sejarah karena kali pertama MK mengabulkan sebagian permohonan uji formil. Dalam putusan itu, Imam mengingatkan sebelum dilakukan perbaikan terhadap UU No.11 Tahun 2020 harus dibuat terlebih dulu landasan hukumnya yakni metode dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan terutama metode omnibus law harus dituangkan dalam regulasi.

Landasan hukum yang dimaksud yakni UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diperbarui melalui UU No.15 Tahun 2019.

Menurut putusan itu, kata Imam, MK juga menekankan pentingnya meaningful participation dalam proses penyusunan/pembahasan UU. Misalnya para pemangku kepentingan harus diberikan naskah RUU dan diakomodir masukannya. Imam menyebut MK juga menemukan ada substansi UU No.11 Tahun 2020 yang diubah setelah persetujuan pembicaraan tingkat II. MK membandingkan dokumen UU No.11 Tahun 2020 yang disahkan 5 Oktober 2020 dengan yang diundangkan.

Menurut Imam, pernyataan Presiden Jokowi belum lama ini yang menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tetap berlaku kurang tepat. Pihak yang paling tepat untuk menjelaskan putusan ini yakni MK dengan mengeluarkan fatwa. Melalui fatwa itu diharapkan dapat menyudahi polemik terkait tafsir terhadap putusan MK tersebut agar tidak menimbulkan beragam tafsir.

Tags:

Berita Terkait