Pakar Ini Ungkap Sebab Rendahnya Kenaikan Upah Minimum
Utama

Pakar Ini Ungkap Sebab Rendahnya Kenaikan Upah Minimum

Pendekatan batas atas dan batas bawah upah minimum yang digunakan untuk menghitung besaran upah minimum menyebabkan hasil penghitungan upah minimum rendah.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sejumlah daerah sudah menetapkan besaran upah minimum 2022, salah satunya provinsi DKI Jakarta yang menetapkan upah minimum provinsi Rp4.453.935. Besaran kenaikan upah minimum rata-rata nasional sebesar 1,09 persen diprotes kalangan buruh karena nilainya di bawah inflasi.

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan, Universitas Krisnadwipayana, Prof Payaman Simanjuntak, mengatakan kebijakan strategis pengupahan menyasar setidaknya 4 hal. Pertama, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Kedua, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja/buruh. Ketiga, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM serta koperasi. Keempat, peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.

Dia menuturkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tujuannya untuk mengoreksi beberapa kelemahan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk di bidang pengupahan. Pengaturan pengupahan lebih lanjut dijabarkan dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Tujuan hukum ketenagakerjaan itu melindungi hak dan kepentingan pekerja, dan pengusaha. Pemerintah juga berkepentingan untuk menjamin jalannya keberlangsungan usaha,” kata Payaman dalam diskusi secara daring dan luring yang diselenggarakan Sekretariat Wakil Presiden RI dan HKHKI, Senin (22/11/2021). (Baca Juga: Usulan Buruh Ditolak, Segini Besaran UMP Jakarta Tahun 2022)     

Payaman menerangkan PP No.36 Tahun 2021 tidak menggunakan kebutuhan hidup layak sebagai acuan dalam penetapan upah minimum. Dia menjelaskan regulasi tersebut menghitung upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan itu meliputi paritas daya beli; tingkat penyerapan tenaga kerja; dan median upah (nilai tengah dari upah nominal tertinggi dan terendah per perusahaan, red).

Formula yang digunakan PP No.36 Tahun 2021 dalam menghitung upah minimum juga berbeda dengan sebelumnya dalam PP No.78 Tahun 2015 yang menggunakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Formula penghitungan upah minimum dalam PP No.36 Tahun 2021 menggunakan variabel batas atas dan batas bawah upah minimum.

Batas atas upah minimum merupakan hasil penghitungan dengan menggunakan variabel berupa rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga (ART), dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga.

Dia memberikan contoh variabel yang digunakan untuk menghitung batas atas upah minimum itu misalnya dalam satu keluarga yang terdiri dari 4 orang dan yang bekerja 2 orang maka upah yang diterima itu harus mampu memberikan konsumsi untuk rata-rata 4 orang anggota keluarga.

Jika tingkat konsumsi rata-rata anggota keluarga Rp2 juta per bulan dan dalam 1 keluarga terdiri dari 4 orang dan yang bekerja hanya 2 orang maka ini bagus. Sementara batas bawah upah minimum sebesar 50 persen dari batas atas, tujuannya jangan sampai ada upah di bawah tingkat kemiskinan.

Tapi bukan berarti formula penghitungan upah minimum yang diatur PP No.36 Tahun 2021 sudah sempurna. Payaman menemukan ada persoalan terkait faktor pengali yang digunakan dalam formula penghitungan penyesuaian upah minimum itu. Yakni hasil dari batas atas dikurangi upah minimum tahun berjalan dibagi hasil pengurangan batas atas dan batas bawah.

“Faktor pengalian tersebut yang membuat (besaran hasil penghitungan upah minimum, red) menjadi lebih kecil. Memang dengan seperti itu jadi rata-rata upah minimum sekarang di seluruh Indonesia menjadi sangat kecil,” ujarnya.

Payaman menghitung kenaikan upah minimum tahun 2022 paling tinggi Maluku Utara 5,17 persen atau Rp140.703; Sulawesi Tengah 3,78 persen atau Rp87.080, dan Yogyakarta 4,30 persen atau Rp75.895. Kenaikan upah minimum tahun 2022 yang rendah karena beberapa tahun sebelumnya kenaikan upah minimum lebih dari semestinya. Hal itu disebabkan variabel yang digunakan untuk menghitung upah minimum yaitu pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Tapi dengan formula penghitungan upah minimum yang diatur PP No.36 Tahun 2021 kenaikan upah minimum dibuat kecil.

Menurut Payaman, formula penghitungan upah minimum sesuai PP No.36 Tahun 2021 harus dikoreksi karena landasan teorinya kurang tepat. Penggunaan variabel batas atas dan batas bawah upah minimum itu perlu dihapus. “Memang ada formula yang harus diluruskan,” usulnya.

Sebelumnya, kalangan serikat buruh juga menyoroti variabel batas atas dan bawah yang digunakan dalam formula penghitungan upah minimum. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan selama puluhan tahun ke depan penetapan upah minimum yang dihasilkan melalui formula PP No.36 Tahun 2021 pasti hasilnya selalu rendah. Sekalipun perekonomian Indonesia sudah membaik setelah pandemi Covid-19 berakhir, Iqbal yakin formula tersebut akan membuat kenaikan upah minimum selalu digetok rendah di bawah inflasi.

“Kalau formula itu yang digunakan maka puluhan tahun ke depan upah buruh murah terus,” kata dia.

Anggota Tripartit Nasional dari unsur pengusaha perwakilan Kadin, Soeprayitno, menilai karut marut pengupahan terjadi sejak terbit UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan diharapkan membawa perubahan yang lebih baik terhadap kebijakan pengupahan. UU No.11 Tahun 2020 lebih memberikan fleksibilitas daripada UU No.13 Tahun 2003.

Dia memaparkan kalangan pengusaha membutuhkan sedikitnya 3 hal meliputi kepastian hukum, keamanan, dan kepastian berusaha. Jika kebijakan pengupahan tidak diubah sesuai UU No.11 Tahun 2020 diyakini produktivitas rendah. Padahal upah minimumnya tinggi, sehingga tidak kompetitif. Dia berpendapat jika upah berbasis produktivitas maka tidak lagi membahas soal upah minimum. “Tujuan upah itu adil, kondusif, produktif dan berdaya saing,” ujarnya.

Kendati demikian anggota DJSN itu mengatakan perlu waktu yang cukup agar UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya untuk bisa dilaksanakan dengan baik. Misalnya dalam perundingan perjanjian kerja bersama (PKB), kalangan buruh masih menginginkan agar ketentuan yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2002 tetap dipertahankan, tidak menggunakan UU No.11 Tahun 2020 serta peraturan turunannya.

Kalangan pengusaha juga tidak ingin persoalan tersebut menjadi sengketa yang berujung ke pengadilan. Oleh karena itu dilakukan transisi dalam jangka waktu 5 tahun ke depan PKB tersebut harus dilakukan penyesuaian sebagaimana peraturan yang berlaku.

“Pelaksanaan PP No.36 Tahun 2021 harus diteruskan. Yang perlu dibenahi itu sistem hubungan kerja di internal perusahaan agar mengedepankan dialog sosial, trust, dan engagement,” kata Soeprayitno. 

Tags:

Berita Terkait