Pelaku KDRT Potong Kaki Istri dan Problem KDRT di Indonesia
Utama

Pelaku KDRT Potong Kaki Istri dan Problem KDRT di Indonesia

Aksi kekerasan ekstrim ini bahkan dilakukan di hadapan anak yang masih berusia 9 tahun. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman 8 tahun penjara terhadap terdakwa. Kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es, sehingga seharusnya perempuan harus berani speak up, berdaya secara ekonomi, dan kesadaran masyarakat.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena yang kerap terjadi di sekitar kita. Belum lama ini ramai dibincangkan publik seorang lansia menjadi Terdakwa KDRT di Tegal, kasus terjadinya KDRT karena perbedaan pilihan Capres di Batam, dan masih banyak kasus lainnya yang diberitakan media lokal atau kasus yang tidak dilaporkan sama sekali.

Salah satu kasus KDRT yang sempat menggemparkan tanah air terjadi di tahun 2017 silam, ketika seorang istri di Bali menjadi korban KDRT oleh suaminya yang menebas kedua kakinya. Aksi kekerasan ekstrim ini bahkan dilakukan di hadapan anak yang masih berusia 9 tahun. Pada akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhi hukuman 8 tahun penjara terhadap sang suami pelaku KDRT.

“Kasus ini tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Pasti ada latar belakang budaya, mungkin sudah banyak terjadi kekerasan. Sampai sudah beberapa kali mengajukan kepada keluarga untuk bercerai. Tapi pihak keluarga tidak menyetujuinya. Pada saat kakinya dipotong itulah puncaknya, akhirnya menjadi korban pihak perempuan,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (FH UMK) Dr. Hidayatullah kepada Hukumonline melalui sambungan telepon, Selasa (20/2/2024).

Baca Juga:

Dalam perspektif gender, kata dia, terdapat sejumlah aspek yang tidak dapat dikesampingkan. Misalnya, aspek budaya, stigma masyarakat, sosiologis, dan beberapa aspek lainnya. Sedangkan dalam hal regulasi, perihal KDRT menurutnya telah diatur dengan cukup baik. 

Artinya, telah terdapat peraturan perundang-undangan yang mumpuni. Seperti, KUHP, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), sampai dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Sejak diundangkannya UU PKDRT, kekerasan terhadap perempuan itu tidak hanya fisik, tapi juga psikis, ekonomis, itu sudah disebut bentuk kekerasan. Nah, yang paling menonjol saat terbitnya UU PKDRT itu menggeser ranah privat menjadi ranah publik. Dalam perkembangan, itu saja tidak cukup karena perlindungan terhadap korban itu masih belum maksimal menurut kajian-kajian Perempuan, sehingga muncul UU TPKS yang lebih progresif.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait