Pemerintah Diminta Gunakan Pendekatan Hukum Dalam Penanganan Kasus Al-Zaytun
Terbaru

Pemerintah Diminta Gunakan Pendekatan Hukum Dalam Penanganan Kasus Al-Zaytun

Tidak boleh ada tindakan administratif dan birokratis sebelum ada putusan pengadilan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan. Foto: IG Halili Hasan
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan. Foto: IG Halili Hasan

Polemik pondok pesantren Al-Zaytun dan pimpinan Panji Gumilang menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sempat menyatakan santri pondok pesantren modern yang berlokasi di Indramayu, Jawa Barat itu akan diambil alih Kementerian Agama. Kalangan organisasi masyarakat sipil mengingatkan pemerintah untuk menangani kasus tersebut secara proporsional.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan pemerintah tidak boleh mengambil tindakan yang bersifat administratif dan birokratis dalam bentuk apapun tanpa didahului proses penegakan hukum. “Harus ada putusan hukum yang mengikat dulu. Penanganan kasus ini harus menggunakan pendekatan hukum,” kata Halili dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Kamis (21/7/2023) kemarin.

Halili mencatat ini bukan kali pertama kasus yang berkaitan dengan Al-Zaytun muncul ke publik. Tapi selama ini ujungnya tidak ada penjelasan kepada masyarakat bagaimana penyelesaiannya. Padahal publik berhak mendapat informasi yang benar. Tapi sayangnya informasi yang diterima masyarakat simpang siur sekalipun itu disampaikan oleh pihak pemerintah baik pusat dan daerah.

Baca juga:

Informasi yang disampaikan pemerintah seperti yang disebut Gubernur Jawa Barat bahwa santri pondok pesantren Al-Zaytun akan diambil alih, menurut Halili itu merupakan langkah politik, bukan pendekatan hukum. Padahal sebelum menyatakan hal tersebut harus ada landasan hukumnya terlebih dulu yakni putusan pengadilan yang sah.

Menurut Halili pondok pesantren Al-Zaytun sudah mendapat perhatian publik sejak tahun 2002. Beberapa pandangan menyebut ada keterkaitan pondok pesantren itu dengan politik berbasis agama Islam. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan Negara Islam Indonesia (NII). Tapi yang jelas perlu ada kajian komprehensif untuk menelusuri informasi tersebut.

Menurut Halili salah satu cara mudah untuk masuk dalam isu Al Zaytun adalah mengambil isu yang sifatnya populis. Hal itu yang dilakukan pemerintah daerah. Padahal pemerintah sebagai representasi negara harus menempatkan masalah ini secara tepat dan tidak berpihak pada kencederungan pandangan publik. Tapi pemerintah terlihat gamang dalam menangani kasus ini terutama aparat hukum yang gamang menggunakan pasal penodaan agama sebagaimana pasal 156a KUHP.

Halili mengingatkan aparat penegak hukum jangan menggunakan pasal penodaan agama dalam menangani kasus ini karena pembuktiannya sulit. Sekalipun pasal ini dikenakan itu lebih cenderung karena tekanan massa. “Kasus penodaan agama yang bergulir sampai pengadilan itu bukan karena due process of law atau keadilan substantif bagi semua pihak tapi karena tekanan massa,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait