Penegakan Kedaulatan di Laut dan Navigasi Kapal Asing
Kolom

Penegakan Kedaulatan di Laut dan Navigasi Kapal Asing

Telaah hukum atas penahanan kapal MT Horse dan MT Frea.

Bacaan 7 Menit

Hak dan Kewajiban Kapal Asing

Dengan semakin bertambahnya wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang diberikan oleh UNCLOS 1982 kepada negara pantai, maka kapal asing yang menjadi pengguna laut diberikan kompromi dalam melewati wilayah laut negara pantai dalam bentuk hak lintas damai dan hak lintas transit (selat internasional dan alur laut kepulauan). Pada saat yang sama, kapal asing ini juga memiliki kewajiban yang harus dipatuhi agar tetap dapat melaksanakan hak-hak tersebut.

Dalam melaksanakan hak lintas damai di laut wilayah, maka kapal asing harus melaksanakan pelayarannya dengan syarat terus menerus (continuous) dan seketika (expeditious). Kapal asing dalam melaksanakan hak ini tidak diperbolehkan berhenti dan buang jangkar kecuali hanya dalam keadaan tertentu yang sangat diperlukan untuk kepentingan yang darurat dan force majeure. Sebagai tambahan, hak lintas ini juga harus bersifat damai di mana kapal asing itu tidak mengancam ketertiban dan keamanan dari negara pantai. (Pasal 18 dan 19 UNCLOS 1982; Pasal 11(3) UU 6/1996; Pasal 3(4) PP 36/2002)

Bagi kapal asing yang mengunakan ALKI untuk hak lintas transitnya, mereka wajib mekakukan perjalanan terus menerus tanpa penundaan dan dilarang untuk melakukan kegiatan apapun yang mengancam kedaulatan negara pantai kecuali dalam darurat atau force majeure. Lebih khusus dalam ALKI, kapal asing yang melaksanakan hak lintas tidak boleh berlayar di luar jalur navigasi yang sudah ditentukan oleh negara Indonesia. Hal ini untuk menjaga keamanan dan keselamatan jalur navigasi tersebut. Namun demikian, kapal asing masih diperbolehkan keluar dari alur laut ini hanya apabila dalam keadaan memaksa dan/atau darurat. (Pasal 39, 40, 42, 44 dan 54 UNCLOS 1982; Pasal 4(6) PP 37/2002)

Dalam melakukan navigasi internasionalnya, kapal asing juga terikat pada aturan internasional dan domestik dalam memastikan standar teknis keamanan dan keselamatan pelayaran. Hal ini erat kaitannya dengan pemenuhan kelaiklautan sebuah kapal asing di mana dunia internasional berupaya untuk menekan angka kecelakaan di laut. Salah satu standar yang diwajibkan adalah pengoperasian Automatic Identification System (AIS). Dengan teknologi ini, otoritas negara pantai yang dilewati oleh kapal asing tersebut dapat memantau pergerakan kapal demi alasan keamanan dan keselamatan lalu lintas pelayaran. (Chapter V, International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974; IMO Resolution A.1106(29) 2015; Pasal 193(1) dan 218 UU 17/2008; Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Perhubungan No. 7 Tahun 2019)

Jika kita melihat dalam kasus MT Horse dan MT Frea, tindakan Bakamla RI dalam menindak hukum atas kedua kapal asing ini sudah tepat. Hal ini berdasarkan paling tidak tiga landasan aspek hukum.

Pertama, kedua kapal telah melanggar hak dan kewajibannya dalam melakukan lintas di wilayah laut Indonesia. Baik dari hak lintas damai maupun lintas transit ALKI, kedua kapal ini terbukti berhenti, buang jangkar dan keluar dari jalur yang ditetapkan tanpa ijin dan tanpa dasar keadaan memaksa (force majeure) atau darurat. Kedua kapal ini berhenti, buang jangkar dan keluar dari jalurnya untuk melakukan kegiatan transfer muatan minyak (ship-to-ship). Meskipun muatan tersebut tidak terkait dengan kepemilikan Indonesia, kegiatan ini tidak dapat dikatakan sebagai keadaan darurat atau memaksa. Kegiatan ini murni dilakukan secara sengaja untuk kepentingan komersial.

Penindakan atas kapal-kapal asing yang buang (lego) jangkar tanpa izin di wilayah laut Indonesia bukanlah tindakan yang baru dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kapal-kapal asing yang akan masuk ke wilayah singapura seringkali melakukan hal tersebut di sekitar wilayah laut pulau Batam. Beberapa kasus terkait hal ini telah diproses hingga mendapatkan putusan pengadilan yang tetap.

Tags:

Berita Terkait