Penegakan Kedaulatan di Laut dan Navigasi Kapal Asing
Kolom

Penegakan Kedaulatan di Laut dan Navigasi Kapal Asing

Telaah hukum atas penahanan kapal MT Horse dan MT Frea.

Bacaan 7 Menit

Kedua, ditengarai bahwa kedua kapal ini sempat mematikan Automatic Identification System (AIS) saat melewati wilayah laut Indonesia. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan internasional dan nasional di Indonesia. Dengan tidak ditemukannya keadaan darurat atau keadaan memaksa, maka tindakan mematikan AIS ini patut diduga dilakukan secara sengaja untuk menghindari kewajiban hukum. Dengan tidak beroperasinya AIS, kapal asing ini membahayakan keamanan dan keselamatan pelayaran yang ada di wilayah laut Indonesia.

Untuk memastikan kepatuhan atas standar keamanan dan keselamatan pelayaran, negara-negara berinisiatif untuk membuat sebuah Memorandum of Understanding (MoU) atas Port State Control (PSC) berdasarkan wilayah tertentu. Indonesia sendiri tergabung dalam Tokyo MoU untuk wilayah Asia. Berdasarkan MoU ini, negara Pelabuhan dapat memberikan sanksi kepada kapal asing yang melanggar aturan atas kewajiban AIS ini seperti menahan kapal hingga peralatan yang dianggap penting dalam pelayaran dipastikan beroperasi dengan baik.

Ketiga, kegiatan operasi pemindahan muatan minyak dari kapal ke kapal (ship-to-ship) yang dilakukan oleh MT Horse dan MT Frea adalah kegiatan yang tidak memiliki izin dari otoritas negara Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 193 dan 317 UU 17/2008. Selain itu, sangat mungkin kegiatan ilegal tersebut menimbulkan pencemaran lingkungan laut. Dengan tiadanya izin melakukan kegiatan tersebut, tentunya pemindahmuatan ini dilakukan tanpa adanya prosedur yang formal untuk mencegah terjadinya pencemaran. Selain itu, perlu dipastikan juga apakah kedua kapal ini tidak membuang limbah yang dibawa dan atau limbah yang berasal dari operasional kapal tersebut. Kewajiban perlindungan atas lingkungan laut ini secara jelas tercantum dalam Pasal 60 dan 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Proses Hukum Selanjutnya

Bakamla sesuai mandatnya dalam UU 32/2014 telah melakukan tugasnya melaksanakan patroli penegakan hukum dan menindak kedua kapal tersebut. Sesuai dengan peraturan nasional, kompetensi untuk melaksanakan proses hukum selanjutnya yaitu penyidikan dilakukan oleh penyidik kementerian/lembaga yang relevan dengan isu hukum di atas. Dalam hal ini jelas penyidik dari Kepolisian, TNI AL, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki kompetensi dalam proses kasus ini.

Dengan adanya beberapa institusi penyidik yang berkompeten maka perlu ditentukan pihak mana yang akan menjadi penyidik utamanya. Situasi seperti inilah yang seringkali terjadi dalam penanganan tindak pelanggaran hukum di laut. Mengingat semangat UU 32/2014 yang mengatur isu kelautan yang lintas sektor, maka keberadaan Bakamla yang juga sebagai penegak hukum lintas sektor di laut sudah sewajarnya dipikirkan untuk dimungkinkan kewenangan penyidikan juga diberikan kepada Bakamla demi kepentingan efisiensi penanganan kasus lintas sektor yang kompleks.

Penahanan yang dilakukan oleh Bakamla terhadap kedua kapal MT Horse dan MT Frea ini sudah sesuai dengan kewenangan dan peraturan hukum yang berlaku. Jika ada yang mengaitkan kekeliruan penahanan oleh Bakamla dengan Konvensi Internasional tentang Penahanan Kapal (International Convention on Arrest of Ship) tahun 1999 maka dapat dikatakan justru sebaliknya pendapat demikianlah yang merupakan kekeliruan. Dalam konvensi ini, penahanan kapal asing hanya terkait pada sengketa keperdataan yang timbul dari kontrak komersial di antara pelaku usaha. Kapal yang digunakan sebagai kegiatan usaha juga pada umumnya digunakan sebagai jaminan atas pembiayaan usaha. Selain itu, Indonesia hingga saat ini belum menjadi pihak dari konvensi tersebut.

Pada akhirnya, kita perlu menunggu dan mencermati bagaimana kelanjutan proses hukum atas kedua kapal asing ini. Perhatian tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga komunitas internasional akan menantikan bagaimana sikap penanganan Indonesia. Hal ini akan dicatat sebagai praktik negara (state practice) dan menjadi pertimbangan pelaku usaha asing lainnya. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten juga akan berpengaruh pada reputasi Indonesia dan mengirimkan pesan yang jelas kepada seluruh kapal asing yang akan melintasi di wilayah laut Indonesia.

*)Arie Afriansyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Center for Sustainable Ocean Policy FHUI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait