Perjalanan di Tengah Badai
Kolom

Perjalanan di Tengah Badai

Krisis masih panjang, kita masih harus bersyukur diberi waktu dan akal sehat untuk menyikapi semua cobaan ini dengan tangan dingin dan hati terbuka.

Bacaan 2 Menit

Lembaga-lembaga dunia seperti World Bank, IMF dan kumpulan negara-negara maju seperti G-20 telah meramalkan bahwa kontraksi ekonomi yang terjadi sekarang ini telah menimbulkan resesi yang sangat dalam, tanpa membedakan apakah itu negara maju, negara emerging markets, atau negara yang masih terbelakang secara ekonomi. GDP riil dari negara-negara G20 berkontraksi turun 3.4% pada kwartal pertama 2020, jauh lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada krisis Asia 1998 dan resesi 2008 (OECD 11 Juni 2020), sementara itu ekonomi global menyusut sebanyak 4.9%, sedangkan Indonesia sendiri berkontraksi lebih ringan, antara 0,3%-3% tahun ini, dengan sejumlah 5,5 juta orang diperkirakan akan kehilangan pekerjaan terutama di sektor informal. Hal ini memaksa pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp695,2 triliun (AS$49,3 miliar) untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan mendukung sistem kesehatan yang lebih handal.

Semua angka itu hanya perkiraan di tengah ketidakpastian, karena baik buruknya kondisi dan dampak pandemi suatu negara masih ditentukan oleh: (a) apakah Covid-19 akan melemah atau malah makin liar bermutasi, (b) apakah vaksin yang tepat akan dapat cepat ditemukan, diproduksi dan didistribusikan secara adil ke sejumlah 7,8 miliar penduduk dunia, (c) sementara vaksi belum mencapai mayoritas dari kita, seberapa jauh keberhasilan suatu negara atau wilayah mendisiplinkan penduduknya untuk hidup dengan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat, dan (d) seberapa sukses suatu negara memperbaiki sistem dan fasilitas kesehatannya untuk meningkatkan jumlah yang disembuhkan dan menekan tingkat kematian.

Pandemi Covid-19 yang sudah melanda ke seluruh negara di dunia, kecuali beberapa negara pulau yang kecil di Pasifik atau negara yang sistem informasinya tertutup seperti Korea Utara, mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Yang jelas kita lihat: (i) hubungan internasional antar negara, bangsa dan penduduk menjadi sangat terdampak karena tertutupnya banyak perbatasan negara terkait dengan pembatasan wilayah dan kegiatan sosial, (ii) sistem transportasi juga terganggu sehingga orang tidak lagi bisa berpergian dengan bebas mengurus kepentingannya, (iii) orang yang selama ini berinteraksi untuk urusan negara, bisnis atau sosial dengan tatap muka, menjadi terhalang dan harus melakukannya dengan cara lain yang memungkinkan dengan bantuan teknologi, tentu saja hal ini dapat mempengaruhi capaian-capaian yang dulu hanya bisa diraih dengan bertemu dan tatap muka, (iv) arus orang dan barang menjadi terdampak karena batasan-batasan tersebut, (v) produksi barang dan jasa serta peredaran uang juga sangat terdampak karena banyaknya batasan di sejumlah negara atau wilayah, (vi) likuiditas dana yang diharapkan dari dunia perbankan dan keuangan menjadi semakin sulit diperoleh terlepas dari semua program stimulus yang diberikan, sehingga memberi dampak negatif terhadap ketahanan dan keberlangsungan industri dan jasa, terutama di tingkat kecil dan menengah, (vii) orang, dunia usaha dan negara mulai gagal atau terpaksa mengurangi ketaatannya dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada pihak ketiga, (viii) peraturan dan kebijakan berubah, menyesuaikan dengan kondisi kedaruratan, sehingga anggota masyarakat, sektor usaha dan lembaga-lembaga negara serta merta harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, (ix) stagnasi bahkan penciutan pertumbuhan ekonomi, proses produksi dan pemberian jasa tersebut mengakibatkan jutaan orang harus kehilangan pekerjaan, dan (xi) kemiskinan bertambah, bahkan negara-negara yang selama beberapa tahun terakhir sudah mampu memperbaiki diri dengan mengurangi tingkat kemiskinan, harus kembali ketitik semula.

Rentetan masalah ini, kalau tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan dampak lanjutan berupa kurangnya persediaan pangan, keresahan sosial dan perubahan politik besar-besaran yang sangat mungkin mengubah peta politik dan perdamaian dunia. Pelajaran cepat yang kita dapatkan dari pandemi Covid-19 selama 4 bulan terakhir sejak kasus Covid-19 pertama terdeteksi secara resmi, mengubah semua rutinitas kita sebagai anggota masyarakat hukum Indonesia.

Di bidang legislasi, begitu banyak perubahan harus dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan semua persoalan dan potensi masalah di atas. Pembuat kebijakan kita dikenal karena kelambatannya dalam "membaca" aspirasi masyarakat termasuk bagaimana membuat aturan yang mendukung akselerasi pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Kita juga dikenal tidak sensitif didalam membuat aturan baru atau mengubah peraturan lama. Setiap aturan tentu berdampak pada penerimaan negara, pertumbuhan bisnis, kesetaraan berusaha, dan hak-hak masyarakat yang langsung atau tidak langsung terdampak oleh aturan tersebut. Proses legislasi RUU KPK, Omnibus Law, RUU Minerba, RUU KUHP dan banyak lainnya hanya sedikit contoh, yang menunjukkan ketidakmampuan pembuat aturan untuk mengendalikan prosesnya dengan baik.

Aturan yang buruk akan menjadi bulan-bulanan proses peninjauan kembali. Aturan yang buruk akan menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang tidak murah. Dan aturan yang buruk akan menarik mundur semua kemajuan yang pernah kita capai. Suasana krisis menghendaki adanya aturan-aturan baru yang dikeluarkan dengan cepat, dan diharapkan bisa menanggulangi atau mengurangi dampak negatif krisis. Suasana krisis menyebabkan partisipasi masyarakat, disengaja oleh pembuat kebijakan atau tidak, menjadi berkurang karena pembatasan-pembatasan ruang gerak. Dengan kualitas pembuat kebijakan kita seperti itu, dan kurangnya partisipasi masyarakat, dikuatirkan yang muncul nanti adalah aturan-aturan yang buruk tadi.

Dibidang dunia usaha, dengan kontraksi ekonomi yang begitu hebat, banyak perusahaan besar, menengah dan kecil akan mengalami kesulitan untuk menembus pasar dunia yang terdampak badai resesi yang sama. Kemampuan beli konsumen sangat melemahkan permintaan, dan peta daya saing industri dan jasa berubah dengan cepat. Akibatnya dunia usaha harus mengubah strategi investasi dan operasinya, mengubah cara pengelolaan usahanya, dan mengubah sasaran-sasaran jangka dekat dan menengahnya. Mereka juga bergumul dengan cara baru untuk menganalisa dan memitigasi risiko. Mereka dipaksa membuat hutang baru ditengah kondisi pendanaan yang tidak likuid, merestrukturisasi organisasi dan hutang-hutangnya, merombak manajemen dan menggunakan semua teknologi baru yang tersedia untuk bisa tetap mempertahankan dan menjalankan usahanya ditengah kenormalan baru ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait