Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha sebaik mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang ia lakukan harus sesuai dengan standar profesi kedokteran.
Sebagai subjek hukum, dokter mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan yang ia lakukan. Jika perbuatannya menimbulkan kerugian terhadap pasien maka dokter tidak dapat berdalih bahwa tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya.
Dengan demikian, dokter dan tenaga kesehatan harus memahami aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan profesi kepada masyarakat bisa menjadi lebih percaya diri.
Baca Juga:
- Sejuta Nestapa di Balik Tragedi Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal
- Keterbukaan Informasi BPOM pada Kasus Gagal Ginjal Akut Anak Dinilai Minim
Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana apabila dapat dibuktikan bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun, perbuatan jahat tanpa dilandasi niat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat perbuatan tersebut maka tanggung jawabnya bersifat individual.
Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi tenaga kesehatan kian bertambah. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar operating procedure serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
Saat ini perlindungan hukum terhadap dokter tersirat dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Posisi kedua undang-undang tersebut itupun hanya fokus pada perlindungan hukum terhadap dokter saat pasien yang menjadi korban.