Permenaker Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Berpotensi Langgar Hak Pekerja
Terbaru

Permenaker Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Berpotensi Langgar Hak Pekerja

Ketimbang memotong upah buruh 25 persen pemerintah bisa mengambil kebijakan seperti memberi insentif kepada industri terdampak krisis global dan mendorong hasil produksi dipasarkan di dalam negeri.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Foto: SGP
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Foto: SGP

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemanker) telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Beleid itu ditolak kalangan buruh karena memberi peluang bagi pengusaha untuk melakukan penyesuaian jam kerja dan memotong upah pekerja/buruh sampai 25 persen.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, menilai kondisi ekonomi global menjadi alasan pengusaha untuk memotong upah buruh. Kalangan pengusaha sebelumnya mengusulkan kepada pemerintah untuk mengatur pelaksanaan no work no pay. Tapi akhirnya pemerintah menerbitkan Permenaker 5/2023. Tapi bila melihat perkembangan ekonomi global saat ini, kondisinya sudah membaik dan mestinya dilihat secara objektif bukan menjadi alasan memangkas upah buruh.

Timboel menilai mengusulkan, bila persoalan yang dihadapi industri alas kaki, garmen, dan tekstil Indonesia mengalami penurunan pesanan, pemerintah agar mengutamakan produk lokal untuk dipasarkan di dalam negeri. Pemerintah pun perlu memberikan insentif pajak dan lainnya untuk perusahaan yang terdampak.

“Hal ini lebih tepat daripada harus menerbitkan Permenaker 5/2023 karena merugikan pekerja/buruh,” katanya, Selasa (04/04/2023).

Baca juga:

Permenaker 5/2023 berpotensi mendorong terjadinya pelanggaran terhadap hak pekerja atas upah layak. Timboel mencatat pemotongan upah maksimal 25 persen menyebabkan upah yang diterima buruh lebih rendah daripada upah minimum. Pasal 88E ayat (2) UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah di bawah upah minimum dan terdapat sanksi pidananya.

Menurut Timboel Permenaker 5/2023 tidak boleh melanggar pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja karena posisi Permenaker di bawah UU. Adanya syarat berupa kesepakatan antara pengusaha dan pekerja untuk menerapkan ketentuan Permenaker 5/2023 sejatinya batal demi hukum, karena perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan regulasi yang diatur UU.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait