Potensi Hambatan Berlapis Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024
Terbaru

Potensi Hambatan Berlapis Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024

Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak di tahun 2024 dirasa akan sangat berdampak bukan hanya kepada penyelenggara atau pemilih, namun peserta pemilu juga akan menghadapi berbagai masalah, kompleksitas, tantangan, kerumitan yang harus dihadapi.

CR-28
Bacaan 5 Menit

Atas permohonan tersebut, MK mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang dibacakan di bulan Februari 2020. MK akhirnya memperluas pandangannya bahwa pemilu serentak tidak harus seperti model Pemilu 2019. Terdapat setidaknya 6 model berbeda yang kemudian ditawarkan oleh MK dalam sistem gelaran pemilu.

Meski pada akhirnya, menurut Titi, kunci utama tetap berada pada pembuat UU untuk mengimplementasikannya. Tapi pada akhirnya, para pembuat UU memutuskan untuk tidak mengubah UU Pemilu untuk Pemilu 2024. Hal ini dirasa akan sangat berdampak kepada masyarakat umum. Seperti kompleksitas, tantangan, kerumitan yang potensi harus dihadapi dalam Pemilu tahun 2024.

Selaras dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilu Kepala Daerah (UU Pilkada) juga tidak mengalami perubahan atas Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Di dalamnya disebutkan “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Artinya, akan terjadi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada di tahun 2024 mendatang.

“Belum lagi bicara soal beban bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara sebagai konsekuensi dari kompleksitas lima kotak suara yang akan dihadapi kembali oleh masyarakat. Polarisasi disintegratif ala Pemilu 2019 potensial kembali berulang.”

Belum lagi, polemik persoalan ambang batas pencalonan presiden atau presidential nomination threshold akan tetap ada. Dengan ketentuan saat ini pencalonan presiden harus dilakukan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 222 UU Pemilu. Dalam perjalanannya, ambang batas ini hanya menghantarkan maksimal tiga pasangan calon sejak tahun 2009.

Disamping pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau pilkada (nomination threshold), Titi melanjutkan pemilu serentak 5 kotak dengan pilkada membawa problem lain. Diantaranya menciptakan ketidakadilan akses dan perlakuan diantara peserta pemilu, pemilih akan cenderung memberi atensi pada pilpres ketimbang pileg; pengawasan jadi melemah; mahar politik (candidacy buying) yang membuat kesetaraan akses pencalonan terhambat bagi kandidat potensial; kuasa uang dan dana kampanye tidak akuntabel membuat hak mendapat kompetisi adil dan setara sukar diwujudkan; dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait