PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik Dinilai Berpotensi Diskriminatif
Utama

PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik Dinilai Berpotensi Diskriminatif

Seharusnya PP tak hanya mengatur hak cipta lagu dan/atau musik, tapi juga ciptaan yang lain seperti tari. Kalangan artis mempertanyakan bagaimana pengawasan dan pertanggungjawaban LMKN, apa perbedaan pusat data dengan sistem informasi lagu dan/atau musik (SILM).

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Besaran tarif pencatatan hak cipta dan lisensi diatur dalam PP No.28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Kemenkumham. Biaya pencatatan hak cipta untuk pemerintah, lembaga pendidikan, UMKM sebesar Rp200 ribu (online) dan Rp250 ribu (nonelektronik). Untuk umum biaya pencatatan hak cipta sebesar Rp200 (online) dan Rp250 ribu (nonelektronik). Biaya pencatatan lisensi Rp200 ribu.

“Bagi lagu dan/atau musik yang hits mungkin biaya tersebut tidak menjadi soal, tapi bagaimana jika yang mendaftarkan ahli waris dengan karya yang mau dicatatkan jumlahnya ratusan? tentu ini menjadi tantangan.”

Henry menilai persoalan lain yakni keberadaan pusat data lagu dan/atau musik itu sebagai dasar untuk pengelolaan royalti. Artinya hak cipta yang belum tercatat di pusat data lagu dan/atau musik berpotensi royaltinya tidak dapat dikelola lewat LMKN. Seperti diketahui, PP No.56 Tahun 2021 memberi kewenangan LMKN untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta, dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.

Dengan adanya biaya pencatatan tersebut, belum tentu pencipta atau ahli warisnya mampu secara teknis dan finansial melakukan pencatatan. “Dari kajian cost and benefit hal ini (pencatatan hak cipta, red) bisa menjadi tantangan. Kecuali ada klausul yang menegaskan ini digratiskan dalam rangka membangun database (pusat data), tapi nanti benturan lagi dengan PP No.28 Tahun 2019,” papar Henry.

Posisi LKMN semakin jelas 

Artis, Elfonda (Once) Mekel, mengatakan secara umum kalangan artis sudah akrab dengan isu pengumpulan dan distribusi royalti karena itu sudah dimulai awal tahun 1990 melalui Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Paling akrab dengan pengelolaan royalti tersebut yakni bagi pencipta. Sedangkan untuk artis kategori performer bisa jadi ini hal baru, begitu juga artis yang bertindak juga sebagai produser.

Once melihat tanggapan kalangan artis terhadap PP No.56 Tahun 2020 sangat beragam, ada yang menyambut positif, tapi ada juga yang pesimis beleid ini dapat berjalan baik. Tapi yang jelas PP tersebut menuntaskan (mengakhiri, red) dualisme antara LMKN dan LMK. Menurutnya, LMKN posisinya semakin jelas sebagai organisasi yang menaungi semua proses pengumpulan dan distribusi royalti.

Tapi, muncul beberapa pertanyaan dari kalangan artis, misalnya bagaimana mekanisme pengawasan LMKN, bagaimana laporannya setiap tahun apakah detail atau tidak, kemudian apa perbedaan pusat data dengan sistem informasi lagu dan/atau musik (SILM). Kalangan musisi juga bertanya darimana dana yang akan digunakan untuk membangun SILM, apakah memotong royalti atau dari pemerintah (APBN).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait