Presidential Threshold Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial
Utama

Presidential Threshold Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial

Ambang batas ini dinilai justru membuat presiden dalam posisi lemah sejak pencalonan, karena dia dipaksa bertransaksi jangka pendek dengan partai pengusung untuk memenuhi syarat suara atau kursi. Akibatnya, membuka pintu yang demikian luas terhadap oligarki.

CR-28
Bacaan 4 Menit

“Sebenarnya ambang batas ini justru membuat presiden dalam posisi lemah sejak pencalonan, karena dia dipaksa bertransaksi jangka pendek dengan partai untuk memenuhi syarat suara atau kursi. Jadi tidak ada transaksi yang sifatnya programatik, tapi betul-betul pragmatis saja. Ini yang selama ini terjadi, akibatnya membuka pintu yang demikian luas terhadap oligarki,” bebernya.

48 negara tidak terapkan PT

Akibat koalisi yang pragmatis ini paling tidak ada dua. Pertama, akan terbangun koalisi besar yang meniadakan negosiasi per isu dan pandangan alternatif di DPR. Pandangan yang berseberangan menjadi minim, seperti yang terjadi sewaktu revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara. “Saya tidak mengatakan dalam arti harus ada perlawanan, bukan itu, tetapi dalam demokrasi yang sehat, harusnya check and balences ini terjadi.”

Bivitri menyayangkan akan minimnya pertanyaan kritis yang sepatutnya dilontarkan DPR terhadap eksekutif. Terlebih dengan 82% koalisi pemerintah sekarang, dalam rapat-rapat DPR bisa dilihat bahkan ketika ada yang hendak mengemukakan pendapat microphone-nya justru dimatikan. Terhitung satu dua partai yang tidak tidak ada dalam koalisi yang akan menyatakan pendapat atau walk out seperti dalam pembahasan UU Cipta Kerja.

Kedua, membuka lebar pintu untuk oligarki. Menurutnya, segala kepentingan dapat dimasuki sedari awal, hal ini bukan dia lontarkan tanpa dasar. Bivitri mengutip sejumlah studi yang telah banyak dipublikasikan menunjukan demikian. Padahal itu menjadi suatu yang tidak dikehendaki konstitusi Indonesia.

Melanjutkan pemaparannya, ia mengutip salah satu studi pada jurnal konstitusi dimana seorang peneliti MK menampilkan data yang paling tidak dari 48 negara yang menerapkan sistem presidensial ternyata tidak ada satu pun yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden. Berlanjut pada polemik kekhawatiran terlalu banyak calon jika tidak menggunakan sistem PT, menurutnya bukan menjadi hal yang dipusingkan mengingat ada kualifikasi administratif dan teknis.

Justru alih-alih memberi dampak positif, kata dia, eksistensi PT justru menutup peluang kompetisi. Hal tersebut tidak hanya merugikan calon potensial, tetapi seluruh masyarakat Indonesia karena mendapat calon yang sudah difilter oleh partai politik atas kepentingan mereka.

Kemudian ada seorang ahli yang mengatakan dalam persidangan bahwa PT menjadi bentuk penyederhanaan partai politik. Padahal dimensinya berbeda karena sudah ada aturan parliamentary threshold. Hal itulah cara untuk menyederhanakan partai politik bila enggan memiliki sistem multi partai yang terlalu kompleks.

“Mendirikan partai politik itu HAM, tetapi bagi partai politik bisa maju atau tidak dalam kompetisi mendapatkan kursi itu boleh diatur dalam kualifikasi tertentu. Itulah caranya menyederhanakan partai politik. Tidak ada bukti yang memperlihatkan PT di Indonesia akan menyederhanakan partai politik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait