Putusan MK Memperkokoh Eksistensi Pengadilan HAM Adhoc
Berita

Putusan MK Memperkokoh Eksistensi Pengadilan HAM Adhoc

Apa jadinya reaksi internasional kalau sekiranya Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian Undang-Undang Pengadilan HAM?

Mys
Bacaan 2 Menit
Putusan MK Memperkokoh Eksistensi Pengadilan HAM Adhoc
Hukumonline

 

Dalam putusan yang dibacakan kemarin (4/3), tiga orang hakim memang mengajukan pendapat berbeda. Ketiga hakim itu adalah Achmad Roestandi, HM Laica Marzuki dan Mukhtie Fadjar. Ketiganya berpendapat seharusnya permohonan Abilio Soares dikabulkan.

 

Senada dengan ketiga hakim, OC Kaligis pun menggarisbawahi bahwa permohonan Abilio seharusnya dikabulkan jika dibandingkan dengan kasus bom Bali. Dalam kasus bom Bali, MK membatalkan pemberlakuan surut UU Terorisme. Lantas mengapa dalam perkara Timor Timur pemberlakuan surut suatu undang-undang tetap dibenarkan oleh MK?

 

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Hafid Abbas berharap agar putusan MK makin memperkokoh status pengadilan HAM adhoc. Kami berharap agar mekanisme penyelesaian lewat pengadilan HAM semakin tangguh dan profesional, ujarnya.

 

Namun, Hafid tidak menafikan jalan lain yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, yakni lewat rekonsiliasi. Pemerintah sudah menerbitkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Hafid Abbas menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Saya puas sekali mendengar putusan itu, ujarnya menjawab pertanyaan hukumonline.

 

Hafid menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu akan memperkuat payung hukum eksistensi pengadilan HAM adhoc yang selama ini sudah dibentuk, seperti peradilan untuk perkara Timor Timur, Tanjungpriok dan yang sedang berjalan peradilan kasus Abepura. Apalagi mengingat sifat putusan MK yang final dan mengikat. Tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa mereka (maksudnya pemohon judicial review – red) gunakan, ujarnya.

 

Hafid khawatir jika pasal 43 ayat (1) dinyatakan tidak berlaku maka semakin kuat kesan yang muncul bahwa pengadilan HAM adhoc hanya sekedar impunity bagi para pelaku. Pengadilan dibentuk sebagai mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum.

 

Kekhawatiran sang Dirjen bukan hanya masalah itu. Bagaimanapun, masalah HAM bukan lagi sekedar national security, tetapi sudah menjadi isu internasional. Paradigmanya sudah bergeser menjadi mankind security. Oleh karena itu Hafid khawatir dunia internasional akan bereaksi keras apabila eksistensi pengadilan HAM adhoc harus bubar karena putusan MK. Dapat dibayangkan reaksi internasional apabila ini kita abaikan, tambahnya. 

 

Penasehat hukum Abilio Soares, OC Kaligis, mengaku tidak terlalu kecewa dengan putusan MK. Apalagi kliennya sudah dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung di tingkat peninjauan kembali. Adanya dissenting opinion dari tiga orang hakim membuktikan bahwa Abilio tidak kalah secara mutlak.

Tags: