Putusan UU KPK, Warning Bagi MK Agar Lebih Hati-Hati
Berita

Putusan UU KPK, Warning Bagi MK Agar Lebih Hati-Hati

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU KPK terus mengundang kontroversi. Agar kredibilitasnya tidak turun, MK diimbau agar lebih berhati-hati dalam menyusun putusan ke depan.

Zae
Bacaan 2 Menit
Putusan UU KPK, <i>Warning</i> Bagi MK Agar Lebih Hati-Hati
Hukumonline

 

Kekhawatiran serupa juga diutarakan oleh staf pengajar Universitas Indonusa Esa Unggul, Irmanputra Sidin. Menurut dosen hukum tata negara ini, pertimbangan putusan MK bisa dijadikan semacam peluru bagi mereka yang ingin menyerang KPK dengan menyatakan bahwa lembaga itu tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang terjadi sebelum 2002.

 

Dalam prakteknya, putusan MK tersebut telah dijadikan bukti oleh Kuasa Hukum terdakwa Abdullah Puteh saat diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kuasa hukum minta agar pemeriksaan dan penahanan Puteh dihentikan karena pengadilan dinilai tidak mempunyai dasar hukum dalam memeriksa Puteh.

 

Karena itu, Benny menyarankan agar MK memberi penjelasan secara terbuka kepada masyarakat luas tentang putusan tersebut. Saran senada juga dilontarkan oleh Firmansyah Arifin, Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).

 

Tidak mengikat

Dalam kesempatan itu Benny juga mengatakan bahwa bagian pertimbangan putusan itu tidak mengikat, karena yang mengikat adalah bagian putusannya. "Dengan demikian pertimbangan putusan itu tidak bisa menjadi bukti hukum di pengadilan," ujar Benny.

 

Lagi pula pada bagian pertimbangan lainnya, MK juga menyatakan bahwa dalam Pasal 68 UU KPK tidak terkandung asas retroaktif. Pasal yang dianggap digunakan sebagai dasar KPK untuk memeriksa Pemohon ini, dinilai oleh Pemohon mengandung asas retroaktif.

 

Dengan demikian, menurutnya, KPK bisa terus menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 68 itu. Yakni, mengambil alih tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai saat terbentuknya KPK.

 

Satu lagi hal penting yang disampaikan Benny adalah bahwa hakim Indonesia bukan sekedar corong dari undang-undang. "Hakim bisa mengesampingkan ketentuan undang-undang dalam memutus demi keadilan," jelas Benny. Dengan demikian sekarang ini menurutnya bergantung kepada keberanian hakim tindak pidana korupsi untuk memutus perkara korupsi.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Benny K Harman, menyarankan agar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sikap hati-hati diperlukan bukan saja saat menyusun putusan, tetapi juga mekanisme pemeriksaan ulang putusan yang akan disampaikan kepada masyarakat.

 

Saran tersebut disampaikan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR itu dalam diskusi mengenai dampak putusan MK atas judicial review Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, di Jakarta, (24/02).

 

Benny mengatakan, perdebatan di masyarakat yang sebagian memandang negatif bunyi putusan MK tersebut menjadi peringatan kepada MK agar lebih hati-hati dalam menyusun putusan pada perkara-perkara berikutnya. "Karena reputasi dan integritas MK juga dilihat dalam putusan yang dihasilkannya," tegas Benny.

 

Putusan MK dimaksud memang mengundang kontroversi. Sebagian masyarakat menilai bahwa MK justru telah menghambat pemberantasan korupsi. Pasalnya, dalam pertimbangan putusan itu MK menyatakan bahwa UU KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang terjadi sebelum UU ini diundangkan (2002, red).

Tags: