Rekonstruksi Kepemilikan Tanah di NAD Makin Pelik
Berita

Rekonstruksi Kepemilikan Tanah di NAD Makin Pelik

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Luthfi Nasution menyatakan proses rekonstruksi penguasaan pemilikan tanah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca gempa dan tsunami tidak sederhana. Pasalnya, tanah di NAD sebagian besar secara fisik rusak dan tidak jelas batas-batasnya dan sebagian lagi musnah.

Amr
Bacaan 2 Menit
Rekonstruksi Kepemilikan Tanah di NAD Makin Pelik
Hukumonline
"Bahkan bukti-bukti (dokumen) pemilikan penguasaannya telah hilang atau rusak," tegas Luthfi ketika melakukan rapat kerja dengan Komisi II DPR, pada Senin (7/3).

Preservasi dan digitasi

Sedangkan menyangkut dokumen pertanahan, Luthfi mengungkapkan bahwa BPN telah melakukan penyelamatan dan evakuasi termasuk dokumen yang akan dimanfaatkan dalam kegiatan rekonstruksi. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dokumen pertanahan yang akan digunakan untuk rekonstruksi ternyata perlu penanganan khusus.

Dijelaskan Luthfi, strategi penanganan dokumen pertanahan meliputi preservasi dan digitasi. Preservasi yaitu usaha-usaha untuk memperpanjang usia dokumen, sedangkan digitasi adalah kegiatan penyimpanan data dokumen pertanahan dalam format digital. Proses penyelamatan dokumen tersebut dilakukan di Jakarta.

Kesimpulan sementara raker Komisi II-BPN kemarin antara lain menyebutkan bahwa Komisi II meminta agar BPN lebih proaktif melakukan penanganan dan penyelamatan terhadap dokumen hak atas tanah dan penguasaan tanah di NAD.

Komisi II juga meminta agar BPN mengikutsertakan serta memberi hak kepada masyarakat untuk mengetahui keputusan Panitia Pemeriksa Tanah Khusus pada tahap pelaksanaan pengumuman.

Kemudian, Komisi II meminta BPN untuk berkoordinasi dengan Bappenas dan pemerintah daerah dalam rangka penentuan kembali batas bidang-bidang tanah yang telah rusak dan hilang, menemukan kembali pemilik tanah di NAD, serta penetapan tata ruang baru.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Ida Fauziah itu, ia menegaskan bahwa upaya rekonstruksi penguasaan pemilikan tanah mutlak diperlukan sebelum ditetapkan rencana umum tata ruang (RUTR) dan pelaksanaannya.

Proses rekonstruksi meliputi pengembalian batas, termasuk penerbitan sertifikat dalam rangka penguatan dan perlindungan hak-hak masyarakat yang terkena bencana. Menurut Luthfi, upaya rekonstruksi penguasaan pemilikan tanah di NAD juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya masalah sosial politik yang justru akan menghambat proses rehabilitasi daerah yang baru saja dilanda musibah tsunami itu.

Adapun masalah sosial yang dimaksud oleh Luthfi di antaranya adanya spekulasi tanah, pemilikan tanah yang tidak sah karena hilangnya data dan informasi tentang tanah, dan juga konflik horizontal dalam masyarakat karena adanya ketidakpastian yang menyangkut tanah.

Tentang kondisi pertanahan di NAD, Luthfi menjelaskan kondisi tanah di NAD saat ini kian buruk karena banyak wilayah yang tertimpa bencana telah diratakan dengan buldozer. Hal itu, jelasnya, mengakibatkan sisa-sisa batas fisik menjadi samar atau bahkan hilang. Belum lagi, sebagian besar warga yang tertimpa bencana masih tinggal di pengungsian, dan ada sejumlah wilayah yang warganya hanya tersisa sebagian kecil.

Kondisi-kondisi tersebut, terang Luthfi, menimbulkan masalah yang cukup pelik di masa mendatang terutama bila terjadi reclaiming (permintaan kembali tanah yang dimiliki masyarakat) setelah pembangunan wilayah yang terkena bencana dilakukan.

Tags: